kisah ke 1
NASIHAT RASULULLAH SAW KEPADA HAKIM
Hakim
bin hizam r.a berkata, “ Saya pernah meminta kepada Rasulullah SAW. Beliau pun
memberi kepada ku. Lalu saya meminta lagi kepadanya dan beliau pun tetap
memberi, kemudian beliau bersabda, “ Hai Hakim, harta ini memang indah dan
manis. Siapa yang mengambilnyadengan hati yang lapang pasti akan menjadi berkah
baginya. Sebaliknya, siapa yang mengambilnya dengan hati yang rakus , tidak
akan menjadi berkah baginya. Sehingga ia bagaikan orang makan yang tidak
kunjung kenyang. Dan tangan yang diatas lebih baik dari tangan yang dibawah?’
saya (Hakim) berkata, ‘ Ya Rasulullah, demi Allahyang mengutus engkau dengan
kebenaran, saya tidak akan menerima apa pun sepeninggal engkau sampai saya
meninggal dunia.’kemudian, Abu Bakar yang menjadi khalifahsetelah rasulullah
meninggal memanggil hakim untuk memberi belanja kepadanya ( dari baitul mal).
Akan tetapi, ia menolaknya dan tidak mau menerima sedikitpun pemberian itu. “
kemudian, abubakar berkata, “wahai kaum Muslimin ! saya persaksikan kepada
kalian, bahwa saya telah memberikan hak hakim yang diberikan Allah kepadanya.” (H.R. bukhari dan Muslim)
Kisah ke 2
Shuaib bin sinan
Ia dilahirkan dalam lingkungan kesenangan dan kemewahan.
Bapaknya menjadi hakim dan walikota “Ubuilah” sebagai pejabat yang diangkat
oleh Kisra atau maharaja Persi. Mereka adalah orang-orang Arab yang pindah ke
Irak, jauh sebelum datangnya Agama Islam. Dan di istananya yang terletak di
pinggir sungai Efrat ke arah hilir “Jazirah” dan “Mosul”, anak itu hidup dalam
keadaan senang dan bahagia.
Pada suatu ketika, negeri itu menjadi sasaran orang-orang
Romawi yang datang menyerbu dan menawan sejumlah penduduk, termasuk di
antaranya Shuhaib bin Sinan. Ia diperjualbelikan oleh saudagar-saudagar budak
belian, dan perkelanaannya yang panjang berakhir di kota Mekah, yakni setelah
menghabiskan masa kanak-kanak dan permulaan masa remajanya di negeri Romawi,
hingga lidah dan dialeknya telah menjadi lidah dan dialek Romawi.
Majikannya tertarik akan kecerdasan, kerajinan dan
kejujurannya, hingga Shuhaib dibebaskan dan dimerdekakannya, dan diberinya
kesempatan untuk dapat berniaga bersamanya.
Maka pada suatu hari… yah, marilah kita dengarkan cerita
kawannya yang bernama ‘Ammar bin Yasir mengisahkan peristiwa yang terjadi pada
hari itu:
Saya berjumpa dengan Shuhaib bin Sinan di muka pintu rumah
Arqam, yakni ketika Rasulullah saw. sedang berada di dalamnya.
Hendak ke mana kamu? tanya saya kepadanya.
Dan, kamu hendak ke mana? jawabnya.
Saya hendak menjumpai Muhammad saw. untuk mendengarkan
ucapannya, kata saya.
Saya juga hendak menjumpainya, ujarnya pula.
Demikianlah kami masuk ke dalam, dan Rasulullah menjelaskan
tentang aqidah Agama Islam kepada kami, setelah kami meresapi apa yang
dikemukakannya kami pun menjadi pemeluknya. Kami tinggal di sana sampai petang
hari. Lalu dengan sembunyi-sembunyi kami keluar meninggalkannya.
Jadi Shuhaib telah tahu jalan ke rumah Arqam. Artinya ia
telah mengetahui jalan menuju petunjuk dan cahaya, juga ke arah pengorbanan
berat dan tebusan besar.
Maka melewati pintu kayu yang memisah bagian dalam rumah
Arqam dari bagian luarnya, tidak hanya berarti melangkahi bandul pintu semata,
tetapi hakikatnya adalah melangkahi batas-batas alam secara keseluruhan. Yakni
alam lama dengan segala apa yang diwakilinya baik berupa keagamaan dan akhlaq,
maupun berupa peraturan yang harus dilangkahinya menuju alam baru dengan segala
aspek dan persoalannya.
Melangkahi bandul pintu rumah Arqam yang lebarnya tidak
lebih dari satu kaki, pada hakekat dan kenyataannya adalah melangkahi bahaya
besar luas dan lebar.
Maka menghampiri rintangan itu — maksud kita bandul tersebut
memaklumkan datangnya suatu masa yang penuh dengan tanggung jawab yang tidak
enteng.
Apalagi bagi fakir miskin, budak belian dan orang perantau,
memasuki rumah Arqam itu artinya tidak lain dari suatu pengurbanan yang
melampaui kemampuan yang lazim dari manusia.
Shahabat kita Shuhaib adalah anak pendatang atau orang
perantau, sedang shahabat yang berjumpa dengannya di ambang pintu rumah tadi —
yakni ‘Ammar bin Yasir — adalah seorang miskin. Tetapi kenapa keduanya itu
berani menghadapi bahaya, dan kenapa mereka bersiap sedia untuk menemuinya.
Nah, ituiah dia panggilan iman yang tak dapat dibendung.
Dan itulah dia pengaruh kepribadian Muhammad saw. yang
kesan-kesannya telah mengisi hati orang-orang baik dengan hidayah dan kasih
sayang. Dan itulah dia daya pesona dari barang baru yang bersinar cemerlang,
yang telah memukau akal fikiran yang muak melihat kebasian barang lama, bosan
dengan kesesatan dan kepalsuannya.
Dan di atas semua ini, itulah rahmat dari Allah Ta’ala yang
dilimpahkan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, serta petunjuk-Nya yang
diberikan kepada orang yang kembali dan menyerahkan diri kepada-Nya.
Shuhaib telah menggabungkan dirinya dengan kafilah
orang-orang beriman. Bahkan ia telah membuat tempat yang luas dan tinggi dalam
barisan orang-orang yang teraniaya dan tersiksa. Begitu pula dalam barisan para
dermawan dan penanggung uang tebusan Pernah diceritakan keadaan sebenarnya yang
membuktikan rasa tanggung jawabnya yang besar sebagai seorang Muslim yang telah
bai’at kepada Rasulullah dan bernaung di bawah panji-panji Agama Islam,
katanya:
“Tiada suatu perjuangan bersenjata yang diterjuni
Rasulullah, kecuali pastilah aku menyertainya.
Dan tiada suatu bai’at yang dialaminya, kecuali tentulah aku
menghadirinya.
Dan tiada suatu pasukan bersenjata yang dikiriminya kecuali
aku termasuk sebagai anggota rombongannya.
Dan tidak pernah beliau bertempur baik dimasa-masa pertama
islam atau di masa-masa akhir, kecuali aku berada di sebelah kanan atau sebelah
kirinya.
Dan kalau ada sesuatu yang dikhawatirkan Kaum Muslimin
dihadapan mereka pasti aku akan menyerbu paling depan, demikian pula kalau ada
yang dicemaskan di belakang mereka, pasti aku akan mundur ke belakang.
Serta aku tidak sudi sama sekali membiarkan Rasulullah
Shallallahu alaihi wasalam berada dalam jangkauan musuh sampai ia kembali
menemui Allah.”
Suatu gambaran keimanan yang istimewa dan kecintaan yang
luar biasa.
Sungguh, Shuhaib — semoga Allah meridhainya dan meridhai
semua shahabatnya — layak untuk mendapatkan keunggulan iman ini, semenjak ia
menerima cahaya ilahi dan menaruh tangan kanannya di tangan kanan Rasulullah
Shallallahu alaihi wasalam . Mulai saat itu hubungannya dengan dunia dan sesama
manusia, bahkan dengan dirinya pribadi mendapatkan corak baru. Jiwanya telah
tertempa menjadi keras dan ulet, zuhud tak kenal lelah, hingga dengan bekal
tersebut ia berhasil mengatasi segala macam peristiwa dan menjinakkan
marabahaya.
Dan sebagaimana telah kita kemukakan dulu, ia selalu
menghadapi segala akibat dan risiko dengan keberanian luar biasa. Ia tak hendak
mundur dari segala pertempuran atau mengucilkan diri dari bahaya, sedang kegemarannya
dialihkannya dari menumpuk keuntungan kepada memikul tanggung jawab, dari
meni’mati kehidupan kepada mengarungi bahaya dan mencintai maut.
Hari-hari perjuangannya yang mulia dan cintanya yang luhur
itu diawali pada saat hijrahnya. Pada hari itu ditinggalkannya segala emas dan
perak serta kekayaan yang diperolehnya sebagai hasil perniagaan selama
berbilang tahun di Mekah. Semua kekayaan ini, yakni segala yang dimilikinya,
dilepaskan dalam sekejap saat tanpa berfikir panjang atau mundur maju.
Ketika Rasulullah hendak pergi hijrah, Shuhaib
mengetahuinya, dan menurut rencana ia akan menjadi orang ketiga dalam hijrah
tersebut, di samping Rasulullah dan Abu Bakar. Tetapi orang-orang Quraisy telah
mengatur persiapan di malam harinya untuk mencegah kepindahan Rasulullah.
Shuhaib terjebak dalam salah satu perangkap mereka, hingga
terhalang untuk hijrah untuk sementara waktu, sementara Rasulullah dengan
shahabatnya berhasil meloloskan diri atas barkah Allah Ta’ala.
Shuhaib berusaha menolak tuduhan Quraisy dengan jalan
bersilat lidah, hingga ketika mereka lengah ia naik ke punggung untanya, lalu
dipacunya hewan itu dengan sekencang-kencangnya menuju sahara luas. Tetapi
Quraisy mengirim pemburu-pemburu mereka untuk menyusulnya dan usaha itu hampir
berhasil. Tapi demi Shuhaib melihat dan berhadapan dengan mereka ia berseru
katanya:
“Hai orang-orang Quraisy!
Kalian sama mengetahui bahwa saya adalah ahli panah yang
paling mahir. Demi Allah, kalian takkan berhasil mendekati diriku, sebelum saya
lepaskan semua anak panah yang berada dalam kantong ini, dan setelah itu akan
menggunakan pedang untuk menebas kalian, sampai senjata di tanganku habis
semua!
Nah, majulah ke sini kalau kalian berani.
Tetapi kalau kalian setuju, saya akan tunjukkan tempat
penyimpanan harta bendaku, asal saja kalian membiarkan daku.
Mereka sama tertarik dengan tawaran terakhir itu, dan setuju
menerima hartanya sebagai imbalan dirinya, kata mereka;
“Memang, dahulu waktu kamu datang kepada kami, kamu adalah
seorang miskin lagi papa. Sekarang hartamu menjadi banyak ditengah-tengah kami
hingga melimpah ruah. Lalu kamu hendak membawa pergi bersamamu semua harta
kekayaan itu?”
Shuhaib menunjukkan tempat disembunyikan hartanya itu,
hingga mereka membiarkannya pergi sedang mereka kembali ke Mekah. Dan suatu hal
yang aneh ialah bahwa mereka mempercayai ucapan Shuhaib tanpa bimbang atau
bersikap waspada, hingga mereka tidak meminta suatu bukti, bahkan tidak meminta
agar ia mengucapkan sumpah.
Kenyataan ini menunjukkan tingginya kedudukan Shuhaib di
mata mereka, sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya.
Shuhaib melanjutkan lagi perjalanan hijrahnya seorang diri
tetapi berbahagia, hingga akhirnya berhasil menyusul Rasulullah shallallahu
alaihi wasalam di Quba. Waktu itu Rasulullah sedang duduk dikelilingi oleh
beberapa orang shahabat, ketika dengan tidak diduga Shuhaib mengucapkan
salamnya. Dan demi Rasulullah melihatnya, beliau berseru dengan gembira:
“Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya! Beruntung
perdaganganmu, hai Abu Yahya”
Dan ketika itu juga turunlah ayat:
Dan di antara manusia ada yang sedia menebus dirinya demi
mengharapkan keridlaan Allah, dan Allah Maha penyantun terhadap hamba-hambanya!
(Q.S. 2 Al-Baqarah:207)
Memang, Shuhaib telah menebus dirinya yang beriman itu
dengan segala harta kekayaan, ia mengumpulkan harts kekayaan itu dengan
menghabiskan masa mudanya, yah seluruh usia mudanya, dan sedikit pun ia tidak
merasa dirinya rugi! Apa artinya harta, emas, perak dan seluruh dunia ini, asal
imannya tidak terganggu, hati nuraninya berkuasa dan kemauannya menjadi raja!
Ia amat disayangi oleh Rasulullah shallallahu alaihi
wasalam. Dan di samping keshalihan dan ketaqwaannya, Shuhaib adalah seorang
periang dan jenaka. Pada suatu hari Rasulullah melihat Shuhaib sedang makan
kurma dan salah satu matanya bengkak. Tanya Rasulullah kepadanya sambil
tertawa:
“Kenapa kamu makan kurma sedang sebelah matamu bengkak?”
“Apa salahnya?” ujar Shuhaib; ‘Saya memakannya dengan mata
yang sebelah lagi.”
Shuhaib adalah pula seorang pemurah dan dermawan. Tunjangan
yang diperolehnya dari Baitul mal dibelanjakan semuanya di jalan Allah, yakni
untuk membantu orang yang kemalangan dan menolong fakir miskin dalam
kesengsaraan, memenuhi firman Allah Ta’ala: “Dan diberikannya makanan yang
disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang tawanan.” (Q·S.
Al-Insan:8)
Sampai-sampai kemurahannya yang amat sangat itu mengundang
peringatan dari Umar, katanya kepada Shuhaib:
“Saya lihat kamu banyak sekali mendermakan makanan hingga
melewati batas.”
Jawab Shuhaib: “Sebab saya pernah mendengar Rasulullah
bersabda: Sebaik-baik kalian ialah yang suka memberi makanan.”
Dan setelah diketahui kehidupan Shuhaib berlimpah ruah
dengan keutamaan dan kebesaran, maka dipilihnya oleh Umar bin Khatthab untuk
menjadi imam bagi Kaum Muslimin dalam shalat mereka, merupakan suatu
keistimewaan dan kecemerlangan.
Tatkala Amirul Mu’minin diserang orang sewaktu melakukan
shalat shubuh bersama Kaum Muslimin, maka disampaikannyalah pesan dan kata-kata
akhirnya kepada para shahabat, katanya: “Hendaklah Shuhaib menjadi imam Kaum
Muslimin dalam shalat.”
Ketika itu Umar telah memilih enam orang shahabat yang
diberi tugas untuk mengurus pemilihan khalifah baru. Dan khalifah Kaum
Musliminlah yang biasanya menjadi imam dalam shalat-shalat mereka. Maka
siapakah yang akan bertindak sebagai imam dalam saat-saat vakum antara wafatnya
Amirul Mu’minin dan terpilihnya khalifah baru itu?
Tentulah Umar, apalagi dalam saat-saat seperti itu, ya’ni
ketika ruhnya yang suci hendak berangkat menghadap Allah, akan berfikir seribu
kali sebelum menjatuhkan pilihannya. Maka kalau ia telah memutuskan pilihannya,
tentulah tak ada orang yang lebih beruntung dan memenuhi syarat dari orang yang
dipilihnya itu.
Dan Umar telah memilih Shuhaib.
Dipilihnya untuk menjadi imam untuk Kaum Muslimin menunggu
munculnya khalifah baru yang akan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Dan
ketika ia memilihnya, bukan tidak tahu bahwa lidah Shuhaib adalah lidah asing.
Maka peristiwa ini merupakan kesempurnaan karunia Allah terhadap hamba-Nya yang
shalih, Shuhaib bin Sinan.
Kisah ke 3
Sa'ad bin Muadz
Pada usia 31 tahun ia masuk Islam. Dan dalam usia 31 tahun
ia pergi menemui syahidnya. Dan antara hari keislamannya sampai saat wafatnya,
telah diisi oleh Sa’ad bin Muadz dengan karya-karya gemilang dalam berbakti
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Lihatlah, Gambarkanlah dalam ingatan kalian laki-laki yang
anggun berwajah tampan berseri-seri, dengan tubuh tinggi jangkung dan badan
gemuk gempal? Nah, itulah dia!
Bagai hendak dilipatnya bumi dengan melompat dan berlari
menuju rumah As’ad bin Zurarah, untuk melihat seorang pria dari Mekah bernama
Mush’ab bin Umeir yang dikirim oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai utusan guna menyebarkan tauhid dan Agama Islam di Madinah.
Memang, ia pergi ke sana dengan tujuan hendak mengusir
perantau ini ke luar perbatasan Madinah, agar ia membawa kembali Agamanya dan
membiarkan penduduk Madinah dengan agama mereka
Tetapi baru saja ia bersama Useid bin Zurarah sampai ke
dekat majlis Mush’ab di rumah sepupunya, tiba-tiba dadanya telah terhirup udara
segar yang meniupkan rasa nyaman. Dan belum lagi ia sampai kepada hadirin dan
duduk di antara mereka memasang telinga terhadap uraian-uraian Mush’ab, maka
petunjuk Allah telah menerangi jiwa dan ruhnya.
Demikianlah, dalam ketentuan taqdir yang mengagumkan,
mempesona dan tidak terduga, pemimpin golongan Anshar itu melemparkan
lembingnya jauh-jauh, lain mengulurkan tangan kanannya mengangkat bai’at kepada
utusan Rasulullah saw.
Dan dengan masuk Islamnya Sa’ad, bersinarlah pula di Madinah
mata hari baru, Yang pada garis edarnya akan berputar dan beriringan qalbu yang
tidak sedikit jumlahnya, dan bersama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyerahkan diri mereka kepada Allah Robbul’alamin.
Sa’ad telah memeluk Islam, memikul tanggung jawab itu dengan
keberanian dan kebesaran. Dan tatkala Rasulullah hijrah ke Madinah, maka
rumah-rumah kediaman Bani Abdil Asyhal, yakni kabilah Sa’ad, pintunya terbuka
lebar bagi golongan Muhajirin, begitu pula semua harta kekayaan mereka dapat
dimanfa’atkan tanpa batas, pemakainya tidak perlu rendah diri dan jangan takut
akan disodori bon perhitungan.
Dan datanglah saat perang Badar. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengumpulkan shahabat-shahabatnya dari golongan Muhajirin dan
Anshar untuk bermusyawarah dengan mereka tentang urusan perang itu
dihadapkannya wajahnya yang mulia ke arah orang-orang Anshar, seraya katanya:
“Kemukakanlah buah fikiran kalian, wahai shahabat!”
Maka bangkitlah Sa’ad bin Mu’adz tak ubah bagi bendera di
atas tiangnya, katanya:
“Wahai Rasulullah! Kami telah beriman kepada anda, kami
percaya dan mengakui bahwa apa yang anda bawa itu adalah hal yang benar, dan
telah kami berikan pula ikrar dan janji-janji kami. Maka laksanakanlah terus,
ya Rasulullah apa yang anda inginkan, dan kami akan selalu bersama anda. Dan
demi Allah yang telah mengutus anda membawa kebenaran! Seandainya anda
menghadapkan kami ke lautan ini lalu anda menceburkan diri ke dalamnya,
pastilah kami akan ikut mencebur, tak seorang pun yang akan mundur, dan kami
tidak keberatan untuk menghadapi musuh esok pagi! Sungguh, kami tabah dalam
pertempuran dan teguh menghadapi perjuangan. Dan semoga Allah akan
memperlihatkan kepada anda tindakan kami yang menyenangkan hati. Maka mulailah
kita berangkat dengan berkah Allah Ta’ala.”
Kata-kata Sa’ad itu muncul tak ubah bagai berita gembira,
dan wajah Rasul pun bersinar-sinar dipenuhi rasa ridla dan bangga serta
bahagia, lalu katanya kepada Kaum Muslimin:
“Marilah hita berangkat dan besarkan hati halian karena
Allah telah menjanjikan kepadaku salah satu di antara dua golongan. Demi Allah,
sungguh seolah-olah tampak olehku kehancuran orang-orang itu.” (al-Hadits)
Dan di waktu perang Uhud, yakni ketika Kaum Muslimin telah
cerai-berai disebabkan serangan mendadak dari tentara musyrikin, maka takkan
sulit bagi penglihatan mata untuk menemukan kedudukan Sa’ad bin Mu’adz.
Kedua kakinya seolah-olah telah dipakukannya ke bumi di
dekat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempertahankan dan membelanya
mati-matian, suatu hal yang agung, terpancar dari sikap hidupnya.
Kemudian datanglah pula saat perang Khandak, yang dengan
jelas membuktikan kejantanan Sa’ad dan kepahlawanannya.
Perang Khandak ini merupakan bukti nyata atas persekongkolan
dan siasat licik yang dilancarkan kepada Kaum Muslimin tanpa ampun, yaitu dari
orang-orang yang dalam pertentangan mereka, tidak kenal perjanjian atau
keadilan.
Maka tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersama para shahabat hidup dengan sejahtera di Madinah mengabdikan diri kepada
Allah saling nasihat-menasihati agar mentaati-Nya serta mengharap agar
orang-orang Quraisy menghentikan serangan dan peperangan, kiranya segolongan
pemimpin Yahudi secara diam-diam pergi ke Mekah lalu menghasut orang-orang
Quraisy terhadap Rasulullah sambil memberikan janji dan ikrar akan berdiri di
samping Quraisy bila terjadi peperangan dengan orang-orang Islam nanti.
Pendeknya mereka telah membuat perjanjian dengan orang-orang
musyrik itu, dan bersama-sama telah mengatur rencana dan siasat peperangan. Di
samping itu dalam perjalanan pulang mereka ke Madinah, mereka berhasil pula
menghasut suatu suku terbesar di antara suku-suku Arab yaitu kabilah Gathfan
dan mencapai persetujuan untuk menggabungkan diri dengan tentara Quraisy.
Siasat peperangan telah diatur dan tugas serta peranan telah
dibagi-bagi. Quraisy dan Gathfan akan menyerang Madinah dengan tentara besar,
sementara orang-orang Yahudi, di waktu Kaum Muslimin mendapat serangan secara
mendadak itu, akan melakukan penghancuran di dalam kota dan sekelilingnya!
Maka tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui
permufakatan jahat ini, beliau mengambil langkah-langkah pengamanan.
Dititahkannyalah menggali khandak atau parit perlindungan sekeliling Madinah
untuk membendung serbuan musuh. Di samping itu diutusnya pula Sa’ad bin Mu’adz
dan Sa’ad bin Ubadah kepada Ka’ab bin Asad pemimpin Yahudi suku Quraidha untuk
menyelidiki sikap mereka yang sesungguhnya terhadap orang yang akan datang,
walaupun antara mereka dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya sudah
ada beberapa perjanjian dan persetujuan damai.
Dan alangkah terkejutnya kedua utusan Nabi, karena ketika
bertemu dengan pemimpin Bani Quraidha itu, jawabnya ialah: “Tak ada persetujuan
atau perjanjian antara Kami dengan Muhammad!”
Menghadapkan penduduk Madinah kepada pertempuran sengit dan
pengepungan ketat ini, terasa amat berat bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Oleh sebab itulah beliau memikirkan sesuatu siasat untuk memisahkan
suku Gathfan dari Quraisy, hingga musuh yang akan menyerang, bilangan dan
kekuatan mereka akan tinggal separoh.
Siasat itu segera beliau laksanakan yaitu dengan mengadakan
perundingan dengan para pemimpin Gathfan dan menawarkan agar mereka
mengundurkan diri dari peperangan dengan imbalan akan beroleh sepertiga dari
hasil pertanian Madinah. Tawaran itu disetujui oleh pemimpin Gathfan, dan
tinggal lagi mencatat persetujuan itu hitam di atas putih.
Sewaktu usaha Nabi sampai sejauh ini, beliau tertegun,
karena menyadari tiadaiah sewajarnya ia memutuskan sendiri masalah tersebut.
Maka dipanggilnyalah para shahabatnya untuk merundingkannya. Terutama Sa’ad bin
Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah, buah fikiran mereka amat diperhatikannya, karena
kedua mereka adalah pemuka Madinah, dan yang pertama kali berhak untuk
membicarakan seal tersebut dan memilih langkah mana yang akan diambil
Rasulullah menceritakan kepada kedua mereka peristiwa
perundingan yang berlangsung antaranya dengan pemimpin-pemimpin Gathfan. Tak
lupa ia menyatakan bahwa langkah itu diambilnya ialah karena ingin
menghindarkan kota dan penduduk Madinah dari serangan dan pengepungan dahsyat.
Kedua pemimpin itu tampil mengajukan pertanyaan:
“Wahai Rasulullah, apakah ini pendapat anda sendiri, ataukah
wahyu yang dititahkan Allah?” Ujar Rasulullah: “Bukan, tetapi ia adalah
pendapatku yang kurasa baik untuk tuan-tuan! Demi Allah, saya tidak hendak
melakukannya kecuali karena melihat orang-orang Arab hendak memanah tuan-tuan
secara serentak dan mendesak tuan-tuan dari segenap jurusan.
Maka saya bermaksud hendak membatasi kejahatan mereka
sekecil mungkin.”
Sa’ad bin Mu’adz merasa bahwa nilai mereka sebagai laki-laki
dan orang-orang beriman, mendapat ujian betapa juga coraknya.
Maka katanya:
‘Wahai Rasulullah! Dahulu kami dan orang-orang itu berada
dalam kemusyrikan dan pemujaan berhala, tiada mengabdikan diri pada Allah dan
tidak kenal kepada-Nya, sedang mereka tak mengharapkan akan dapat makan sehutir
kurma pun dari hasil bumi kami kecuali bila disuguhkan atau dengan cara jual
beli. Sekarang, apakah setelah kami beroleh kehormatan dari Allah dengan
memeluk Islam dan mendapat bimbingan untuk menerimanya, dan setelah kami
dimuliakan-Nya dengan anda dan dengan Agama itu, lain kami harus menyerahkan
harta kekayaan kami? Demi Allah, kami tidak memerlukan itu, dan demi Allah,
kami tak hendak memberi kepada mereka kecuali pedang, hingga Allah menjatuhkan
putusan-Nya dalam mengadili kami dengan mereka.”
Tanpa bertangguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
merubah pendiriannya dan menyampaikan kepada para pemimpin suku Gathfan bahwa
sahabat-sahabatnya menolak rencana perundingan, dan bahwa beliau menyetujui dan
berpegang kepada putusan shahabatnya….
Berselang beberapa hari, kota Madinah mengalami pengepungan
ketat. Sebenarnya pengepungan itu lebih merupakan pilihannya sendiri daripada
dipaksa orang, disebabkan adanya parit yang digali sekelilingnya untuk menjadi
benteng perlindungan bagi dirinya. Kaum Muslimin pun memasuki suasana perang.
Dan Sa’ad bin Mu’adz keluar membawa pedang dan tombaknya sambil berpantun:
“Berhentilah sejenak, nantikan berkecamuknya perang Maut
berkejaran menyambut ajal datang menjelang.”
Dalam salah satu perjalanan kelilingnya nadi lengannya
disambar anak panah yang dilepaskan oleh salah seorang musyrik.
Darah menyembur dari pembuluhnya dan segera ia dirawat
secara darurat untuk menghentikan keluamya darah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyuruh membawanya ke mesjid, dan agar didirikan kemah untuknya agar ia
berada di dekatnya selama perawatan.
Sa’ad, tokoh muda mereka itu dibawa oleh Kaum Muslimin ke
tempatnya di mesjid Rasul. Ia menunjukkan pandangan matanya ke arah langit,
lain mohonnya:
“Ya Allah, jika dari peperangan dengan Quuaisy ini masih ada
yang Engkau sisakan, maka panjangkanlah umurku untuk menghadapinya. Karena tak
ada golongan yang diinginkan untuk menghadapi mereka daripada kaum yang telah
menganiaya Rasul-Mu,telah mendustakan dan mengusirnya.
Dan seandainya Engkau telah mengakhiri perang antara kami
dengan mereka, jadikanlah kiranya musibah yang telah menimpa diriku sekarang
ini sebagai jalan untuk menemui syahid. Dan janganlah aku dimatikan sebelum
tercapainya yang memuaskan hatiku dengan Bani Quraidha.”
Allah-lah yang menjadi pembimbingmu, wahai Sa’ad bin Mu’adz.
Karena siapakah yang mampu mengeluarkan ucapan seperti itu dalam suasana
demikian, selain dirimu.
Dan permohonannya dikabulkan oleh Allah. Luka yang
dideritanya menjadi penyebab yang mengantarkannya ke pintu syahid, karena
sebulan setelah itu, akibat luka tersebut ia kembali menemui Tuhannya. Tetapi
peristiwa itu terjadi setelah hatinya terobati terhadap Bani Quraidha.
Kisahnya ialah setelah orang-orang Quraisy merasa putus asa
untuk dapat menyerbu kota Madinah dan ke dalam barisan mereka menyelinap rasa
gelisah, maka mereka sama mengemasi barang perlengkapan dan alat senjata, lalu
kembali ke Mekah dengan hampa tangan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpendapat,
mendiamkan perbuatan orang-orang Quraidha, berarti membuka kesempatan bagi
kecurangan dan pengkhianatan mereka terhadap kota Madinah bilamana saja mereka
menghendaki, suatu hal yang tak dapat dibiarkan berlalu. Oleh sebab itulah
beliau mengerahkan shahabat-shahabatnya kepada Bani Quraidha itu. Mereka
mengepung orang-orang Yahudi itu selama 25 hari. Dan tatkala dilihat oleh Bani
Quraidha bahwa mereka tak dapat melepaskan diri dari Kaum Muslimin, mereka pun
menyerahlah dan mengajukan permohonan kepada Rasulullah yang beroleh jawaban
bahwa nasib mereka akan tergantung kepada putusan Sa’ad bin Mu’adz. Di masa
jahiliyah dahulu, Sa’ad adalah sekutu Bani Quraidha.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim beberapa
shahabat untuk membawa Saad bin Mu’adz dari kemah perawatannya di mesjid. Ia
dinaikkan ke atas kendaraan, sementara badannya kelihatan lemah dan menderita
sakit.
Kata Rasulullah kepadanya: “Wahai Sa’ad! Berilah keputusanmu
terhadap Bani Quraidha.” Dalam fikiran Sa’ad terbayang kembali kecurangan Bani
Quraidha yang berakhir dengan perang Khandak dan nyaris menghancurkan kota
Madinah serta penduduknya. Maka ujar Sa’ad: “Menurut pertimbanganku,
orang-orang yang ikut berperang di antara mereka hendaklah dihukum bunuh.
Perempuan dan anak mereka diambil jadi tawanan, sedang harta kekayaan mereka
dibagi-bagi.” Demikianlah, sebelum meninggal, hati Sa’ad telah terobat terhadap
Bani Quraidha.
Luka yang diderita Sa’ad setiap hari bahkan setiap jam kian
bertambah parah. Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
datang menjenguknya. Kiranya didapatinya ia dalam saat terakhir dari hayatnya.
Maka Rasulullah meraih kepalanya dan menaruhnya di atas pangkuannya, lain
berdu’a kepada Allah, katanya: “Ya Allah, Sa’ad telah berjihad di jalan-mu ia
telah membenarkan Rasul-Mu dan telah memenuhi kewajibannya. Maka terimalah
ruhnya dengan sebaik-baiknya cara Engkau menerima ruh.”
Kata-kata yang dipanjatkan Nabi itu rupanya telah memberikan
kesejukan dan perasaan tenteram kepada ruh yang hendak pergi. Dengan susah
payah dicobanya membuka kedua matanya dengan harapan kiranya wajah Rasulullah
adalah yang terakhir dilihatnya selagi hidup ini, katanya: “Salam atasmu, wahai
Rasulullah. Ketahuilah bahwa aku mengakui bahwa anda adalah Rasulullah!”
Rasulullah pun memandangi wajah Sa’ad lalu katanya:
“Kebahagiaan bagimu wahai Abu Amr.”
Berkata Abu Sa’id al-Khudri: “Saya adalah salah seorang yang
menggali makam untuk Sa’ad. Dan setiap kami menggali satu lapisan tanah, tercium
oleh kami wangi kesturi, hingga sampai ke liang lahat”.
Musibah dengan kematian Sa’ad yang menimpa Kaum Muslimin
terasa berat sekali. Tetapi hiburan mereka juga tinggi nilainya, karena mereka
dengar Rasul mereka yang mulia bersabda: “Sungguh, ‘Arasy Tuhan Yang Rahman
bergetar dengan berpulangnya Sa’ad bin Mu’adz.
Kisah ke 4
Nenek Umar bin Abdul Aziz
Umar bin Abdul Aziz, itulah dia mukjizat Islam! Sebuah
lembaran putih di antara lembaran-lembaran hitam dinasti Bani Marwan. [1] Sosok
manusia pilihan yang lahir dari perpaduan antara dua unsur yang amat bertolak
belakang!
Ya, sekali lagi amat bertolak belakang! Mengapa demikian?
Ia terlahir dari keluarga Bani Umayyah yang terhitung
keluarga ningrat, pemegang tampuk kekuasaan. Ayahnya adalah Abdul Aziz bin
Marwan, seorang gubernur Mesir yang diangkat oleh saudaranya, Amirul Mukminin
Abdul Malik bin Marwan. Abdul Aziz memerintah Mesir selama 20 tahun.
Sebagai gubernur, hidupnya tentu penuh dengan kenikmatan.
Hidangan lezat, istana megah, pakaian indah, dan kendaraan mewah. Adapun ibunya
bernama Ummu ‘Ashim, Laila binti ‘Ashim bin Umar bin Khaththab. Seorang wanita
dari keluarga Umar bin Khaththab yang tersohor dengan kezuhudan dan pola
hidupnya yang amat bersahaja.
Nah, dari perpaduan dua unsur inilah terlahir sosok Umar bin
Abdul Aziz, si Mukjizat Islam. Sungguh, riwayat hidupnya merupakan fenomena
yang sangat luar biasa. Menggambarkan sosok pribadinya, sungguh merupakan suatu
hal yang sulit dilakukan.
Memang benar, terhadap suatu sejarah besar, selalu ditemui
pertanyaan dan keraguan yang mengharubirukan kita tentang diri seorang besar
dan pemimpin adil semisal beliau ini.
Sebenarnya, kesulitan sesungguhnya yang kita hadapi ialah
dari sekian banyak kumpulan fakta yang berhubungan dengan kebesaran dan
kelebihannya, sisi mana yang mesti diambil dan mana yang mesti ditinggalkan.
Ketaatan dan ketekunannya dalam beribadah, ketinggian jiwanya, kewibawaannya,
keadilannya, atau sepak terjangnya yang mengagumkan itu? [2]
Akan tetapi, agar pembaca tak terlena karena terlalu asyik
mengikuti cerita ini, maka kali ini penulis hanya ingin menitikberatkan pada
salah satu faktor utama yang ikut mewarnai pribadi seorang Umar bin Abdul Aziz.
Faktor tersebut bermula dari keshalihan istri ‘Ashim bin Umar bin Khaththab,
yang merupakan nenek dari Umar bin Abdul Aziz.
Khalid Muhammad Khalid, seorang penulis mesil kondang
menuturkan dalam bukunya Khulafaur Rasul sebagai,
Waktu itu, malam gelap gulita. Kota Madinah telah tertidur
lelap. Semua orang sedang terbuai dalam mimpi di rumahnya masing-masing. Namun,
di sana masih ada seseorang yang tetap terjaga karena gelisah diusik rasa
tanggung jawabnya yang demikian besar, dan memang ia selalu gelisah seperti
itu, sehingga tak pernah barang sekejap pun dapat berdiam diri.
Ditelusurinya jalan-jalan dan lorong kota Madinah yang
sempit itu, yang terasa hanyalah kegelapan malam yang hitam pekat bagai tinta,
dan angin dingin yang menusuk tulang.
Orang itu keluar dan berjalan mengendap-endap. Setiap rumah
diamatinya dari dekat dengan seksama. Dipasangnya telinga dan matanya
baik-baik, kalau-kalau ada penghuninya yang masih terjaga karena lapar, atau
yang tak dapat memicingkan matanya karena sakit, atau yang merintih dalam
penderitaan, atau barangkali ada seorang pengelana yang terlantar.
Ia selalu mengamati kalau-kalau ada kepentingan rakyatnya
yang luput dari perhatiannya, karena ia yakin betul bahwa semuanya itu nanti
akan dimintakan pertanggungjawaban kepadanya. Diperhitungkan inci demi inci,
butir demi butir, dan tak mungkin ada yang terlewatkan di hadirat Allah Ta’ala.
Orang itu adalah khalifah kaum muslimin, sosok yang selama
ini mereka panggil dengan Amirul Mukminin. Benar! Ia tiada lain adalah Umar bin
Khaththab.
Sudah panjang jalan dan lorong yang ditelusurinya malam itu,
sehingga tubuhnya terasa letih, keringat pun mengucur dari sekujur tubuhnya
meskipun malam itu begitu dingin. Oleh sebab itu, ia menyandarkan tubuhnya pada
sebuah dinding rumah kecil nan reot.
Karena letih, ia duduk di tanah sambil mencoba beristirahat
barang sejenak. Setelah letih kedua kakinya mulai terasa berkurang, ia
bermaksud melanjutkan langkah menuju ke mesjid. Sebab, tidak lama lagi fajar
segera menyingsing.
Tiba-tiba, di saat duduk bertumpu pada kedua tangannya,
didengarnya ada suara lirih dalam gubuk itu. Suara itu merupakan percakapan
yang terjadi antara seorang ibu dengan anak gadisnya. Yaitu tentang susu yang
baru saja mereka perah dari kambing mereka, untuk dijual di pasar pagi hari
nanti.
Si Ibu meminta agar anaknya mencampur susu itu dengan air,
sehingga takarannya lebih banyak dan keuntungan yang diperolehnya nanti dapat
mencukupi kebutuhan mereka hari itu.
Amirul Mukminin memasang telinganya lebih baik lagi untuk
mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
“Nak, campurlah susu itu dengan air!” kata si ibu.
“Tidak boleh, Bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur
susu yang akan dijual dengan air,” jawab gadis itu.
“Tetapi semua orang melakukan hal itu, Nak. Campur sajalah!
Toh Amirul Mukminin tidak melihat kita melakukannya.”
“Bu, sekalipun Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun
Rabb Amirul Mukminin pasti mengetahuinya,” jawab gadis itu.
Mendengar ucapan si gadis tadi, berderailah air mata Amirul
Mukminin, ia tak kuasa menahan tangis saking harusnya. Bukan air mata
kesedihan, melainnkan air mata ketakjuban dan kegembiraan.
Bergegas ia bangkit dan melangkah menuju mesjid, lalu shalat
fajar bersama para sahabatnya. Seusai menunaikan shalat, ia segera pulang ke
rumahnya. Dipanggillah putranya, ‘Ashim, dan diperintahkannya untuk berkunjung
kepada ibu si gadis di rumah reot itu, dan menyelidiki keadaan mereka.
‘Ashim kembali seraya menyampaikan kepada bapaknya perihal
penghuni rumah yang didatanginya. Amirul Mukminin kemudian menceritakan
percakapan yang didengarnya malam tadi kepada putranya, sehingga ia
memerintahkan kepadanya untuk menyelidiki keadaan keluarga itu.
Di akhir percakapan itu, Amirul Muminin lalu berkata kepada
putranya yang saat itu sudah waktunya untuk berumah tangga, “Pergilah temui
mereka, dan lamarlah gadis itu untuk jadi istrimu. Aku melihat bahwa ia akan
memberi berkah kepadamu nanti. Mudah-mudahan pula ia dapat melahirkan keturunan
yang akan menjadi pemimpin umat!”
‘Ashim pun akhirnya menikahi gadis miskin tapi mulia dan
suci hati. Mereka berdua dikaruniai seorang putri yang mereka beri nama Laila,
yang kemudian lebih terkenal dengan panggilan Ummu ‘Ashim.
Ummu ‘Ashim ini tumbuh menjadi seorang gadis yang taat
beribadah dan cerdas, yang akhirnya diperistri oleh Abdul Aziz bin Marwan, dan
dari keduanya terlahirlah Umar bin Abdul Aziz.
Demikianlah silsilah keturunan mereka, dan nyatalah bashirah
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab tentang diri gadis yang membawa berkah itu.
[3]
وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا
أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن
شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا
كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman lalu
anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, maka Kami hubungkan anak cucu
mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal
mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Qs. Ath-Thur: 21)
Sosok Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
Beliau dilahirkan pada tahun 60 Hijriah, bertepatan dengan
tahun mangkatnya Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pendiri Daulah
Umawiyah. ‘Umar adalah lelaki yang berparas elok, berkulit putih, berjambang
tipis, bertubuh kurus, dan bermata cekung. Pada wajahnya terdapat bekas tapal
kuda. Memang sewaktu kecil ia pernah masuk ke kandang kuda lalu ditendang pada
bagian kepalanya, karenanya ia disebut Asyaj Bani Umayyah, artinya orang dari
Bani Umayyah yang terluka kepalanya. [4]
Kecerdasan Umar bin Abdul Aziz
Salah seorang tokoh ahlul bait yang bernama Muhammad bin
‘Ali al-Baqir pernah ditanya tentang ‘Umar, maka jawabnya, “Dialah orang
cerdasnya Bani Umayyah, kelak ia akan dibangkitkan sebagai umat seorang diri.”
Maimun bin Mihran berkata, “Para ulama di samping ‘Umar tak
ubahnya seperti santri.” Imam Ahmad pernah berkata, “Diriwayatkan dalam hadits,
bahwa Allah akan membangkitkan di penghujung tiap abad seorang alim yang akan
memperbaharui keberagaman umat ini. Setelah kami perhatikan, ternyata pada
seratus tahun pertama Umarlah orangnya. Sedangkan pada seratus tahun berikutnya
ialah asy-Syafi’i.” [5]
Ketawadhuan Umar bin Abdul Aziz
Usai memakamkan Sulaiman bin Abdil Malik, ‘Umar mendengar
suara gemuruh dan derap kuda. Ia pun bertanya, “Ada apa ini?”
“Ini adalah kendaraan resmi
kekhalifahan, wahai Amirul Mukminin. Ia sengaja didatangkan kemari agar Anda
menungganginya,” jawab seseorang.
“Aku tak membutuhkannya, jauhkan ia
dariku. Kemarikan saja bighalku,” [6] jawab ‘Umar enteng.
Maka, mereka mendekatkan bighalnya dan `Umar pun
menungganginya. Tapi tiba-tiba datanglah kepala keamanan yang mengawal ‘Umar
dari depan sembari memegang tombak. “Apa-apaan ini? Aku tak perlu pengawal. Aku
hanyalah salah seorang dari kaum muslimin,” kata ‘Umar. [7]
Maimun bin Mihran meriwayatkan bahwa suatu ketika ia bertemu
dengan ‘Umar bin Abdul Aziz, lalu ‘Umar memintanya untuk menyampaikan sebuah
hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, Maimun menyebutkan satu hadits yang amat berkesan
hingga ‘Umar menangis sejadi-jadinya, lalu kata Maimun, “Wahai Amirul Mukminin,
kalau saja aku tahu Anda bakal menangis niscaya akan kubawakan hadits lain yang
lebih ringan.”
“Wahai Maimun, ini gara-gara kami
terlalu banyak makan kacang adas, dan sejauh yang kuketahui, ia bisa melunakkan
hati, memperbanyak air mata, dan melemaskan badan,” sanggah ‘Umar.
Al-Ishami mengomentari kisah ini dengan mengatakan, “Dia
benar, memang kacang adas memiliki sifat-sifat itu, akan tetapi rahasia
sesungguhnya yang menyebabkan ‘Umar menangis ialah karena hatinya amat takut
kepada Allah. Akan tetapi, ia punya alasan untuk menisbatkan sebab tangisnya
pada adas, karena pengaruhnya yang memang seperti itu. Seakan ia ingin
menjauhkan dirinya dari sesuatu yang mungkin menimbulkan riya’.” [8]
Mutiara Hikmah ‘Umar bin Abdul Aziz
Begitu terpilih menjadi Khalifah, ‘Umar langsung berpidato
di depan rakyatnya. Ia menghaturkan puji-pujian kepada Allah dan salawat atas
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berkata, “Kuwasiatkan kepada
kalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah karena takwa adalah pengganti
segalanya, namun segalanya tak bisa menggantikan takwa. Beramallah untuk
akhirat kalian, karena barangsiapa beramal untuk akhiratnya pastilah Allah
mencukupi baginya perkara dunianya.
Perbaikilah batin kalian, niscaya Allah akan memperbaiki
lahiriah kalian. Perbanyaklah mengingat kematian dan bersiap-siaplah sebelum ia
datang, karena kedatangannya merupakan penghapus setiap kenikmatan.
Sesungguhnya orang yang tahu bahwa leluhurnya telah tiada
semua, mestinya sadar bahwa dirinya amat pantas untuk mati. Ingatlah bahwa umat
ini tidak berselisih lantaran Tuhan mereka, tidak pula lantarang Nabi-Nya atau
kitab suci-Nya. Akan tetapi mereka berselisih lantaran dinar dan dirham, dan
sungguh, demi Allah, aku tak akan memberikan yang batil pada seorang pun, dan
tidak pula menahan yang haq darinya,” kemudian ‘Umar mengangkat suaranya keras-keras
hingga terdengar semua orang, “Saudara sekalian, siapa yang taat kepada Allah,
maka ia wajib ditaati, dan siapa yang bermaksiat kepada-Nya, maka tak ada
ketaatan baginya. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah, namun jika aku
bermaksiat maka janganlah kalian menaatiku!” [9]
Catatan kaki:
[1] Penulis sengaja menyebutnya sebagai Bani Marwan dan
bukan Bani Umayyah, agar ungkapan ini tidak mencakup pendiri Daulah Umawiyah
yang merupakan seorang sahabat Rasulullah yang mulia, yaitu Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, karena sepeninggal Mu’awiyah dan putranya Yazid, tampuk kekuasaan
beralih kepada Marwan bin Abdul Hakum dan keturunannya, yang terkenal suka
mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya dan para khalifahnya gemar
berfoya-foya, serta sederetan rapor merah lainnya yang menjadi ciri khas
pemerintahan mereka. Jadi, merekalah yang kami maksudkan di sini, pen.
[2] Lihat: Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, oleh
Khalid Muhammad Khalid, hlm. 605–608.
[3] Lihat: Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, hlm.
614–617, dengan sedikit penyesuaian.
[4] Lihat: Al-Wafi bil Wafayat: 7/157.
[5] Lihat: Shifatush Shafwah: 1/199.
[6] Bighal adalah hasil perkawinan silang antara keledai
jantan dan kuda betina.
[7] Lihat: Shifatush Shafwah: 1/199.
[8] Lihat: Samthun Nujumil Awali, oleh al-Ishami.
[9] Tarikh Dimasyq: 45/358, oleh Ibnu Asakir.
Kisah ke 5
Kisah
Cinta Ali dengan Fatimah Azzahra
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya
pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang
adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan
kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang
dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan
hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka
untuk menghentikan darah ayahnya.Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan
hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan
demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju
Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan
tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka
dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk
menimpali.
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia
memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah
dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan
Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal
risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq,
Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.Ia merasa diuji
karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr
lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa
banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu
Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash,
Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti
’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para
faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn
Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr
sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah
persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku
mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”Cinta tak pernah meminta untuk
menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau
pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali
tunas harap di hatinya yang sempat layu.Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali
terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum
berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki
lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat
kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat
syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran
dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam
belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang
menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar
pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan
Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali
mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr
dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr
dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah
Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar
melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran
musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia
mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.’Umar telah
berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai
Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa
yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung
tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki
pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan
orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah
binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil
kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.Maka
’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang
seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti
Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami
Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya
hilang kepercayaan diri.Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang
setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar
untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin
Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang
lincah penuh semangat itu?”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat
teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba
melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda
Nabi.. ””Aku?”, tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai saudaraku!””Aku hanya
pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?””Kami di belakangmu, kawan! Semoga
Allah menolongmu!”’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri,
disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu,
secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju
besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta
waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah
menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya
telah berkepala dua sekarang.”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu
nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda
yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa
Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur
tenang bersama senyum Sang Nabi.Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan
selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau
penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada
menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati
sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.”Bagaimana jawab Nabi
kawan? Bagaimana lamaranmu?””Entahlah..””Apa maksudmu?””Menurut kalian apakah
’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!””Dasar tolol! Tolol!”, kata
mereka,”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan
dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa
Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan
menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke
kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu
hutang.Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan
Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan
nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab
memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah
jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan
dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah
pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang
Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu.
Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”‘Ali terkejut dan
berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda
itu?”Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu.”
Kemudian Nabi saw bersabda: “ Sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin
Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan
maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima)
mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:“ Semoga Allah
mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian
berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan
yang banyak.”
(Kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, Bab 4).
Kisah ke 6
Muhammad Ibn Ali Ibn Abi Thalib
Muhammad Ibn Ali Ibn Abi Thalib, beliau lebih dikenal dengan Muhammad Ibn al-Hanafiah, sedang terjadi percekcokan dengan saudaranya al-Hasan ibn Ali, maka Ibn al-Hanafiah mengirim surat kepada saudaranya itu, isinya, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kelebihan kepadamu atas diriku…Ibumu Fathimah binti Muhammad ibn Abdullah SAW, sedangkan ibuku seorang wanita dari Bani “Haniifah.” Kakekmu dari garis ibu adalah utusan Allah dan makhluk pilihannya, sedangkan kakekku dari garis ibu adalah Ja’far ibn Qais. Apabila suratku ini sampai kepadamu, kemarilah dan berdamailah denganku, sehingga engkau memiliki keutamaan atas diriku dalam segala hal.”
Begitu surat itu sampai ke tangan al-Hasan…ia segera ke rumahnya dan berdamai dengannya. Siapakah Muhammad ibn al-Hanafiyyah, seorang adib (ahli adab/pujangga), seorang yang pandai dan berakhlak lembut ini?
Marilah, kita membuka lembaran hidupnya dari awal.
Kisah ini bermula sejak akhir kehidupan Rasulullah SAW.
Pada suatu hari, Ali ibn Abi Thalib duduk bersama Nabi SAW, maka ia berkata, “Wahai Rasulullah…apa pendapatmu apabila aku dikaruniani seorang anak setelah engkau meninggal, (bolehkah) aku menamainya dengan namamu dan memberikan kun-yah (sapaan yang biasanya diungkapkan dengan ‘Abu fulan…’) dengan kunyah-mu?.”
“Ya” jawab beliau.
Kemudian hari-hari pun berjalan terus. Dan Nabi yang mulia SAW bertemu dengan ar-Rafiiqul al-A’laa (berpulang ke sisi Allah)…dan setelah hitungan beberapa bulan Fathimah yang suci, Ibunda al-Hasan dan al-Husain menyusul beliau (wafat).
Ali lalu menikahi seorang wanita Bani Haniifah. Ia menikahi Khaulah binti Ja’far ibn Qais al-Hanafiyyah, yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki untuknya. Ali menamainya “Muhammad” dan memanggilnya dengan kun-yah “Abu al-Qaasim” atas izin Rasulullah SAW. Hanya saja orang-orang terlanjur memanggilnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah, untuk membedakannya dengan kedua saudaranya al-Hasan dan al-Husain, dua putra Fathimah az-Zahra. Kemudian iapun dikenal dalam sejarah dengan nama tersebut.
Muhammad ibn al-Hanafiyyah lahir di akhir masa khilafah ash-Shiddiq (Abu Bakar) RA. Ia tumbuh dan terdidik di bawah perawatan ayahnya, Ali bin Abi Thalib, ia lulus di bawah didikannya.
Ia belajar ibadah dan kezuhudan dari ayahnya…mewarisi kekuatan dan keberaniannya…menerima kefasihan dan balaghoh darinya. Hingga ia menjadi pahlawan perang di medan pertempuran…singa mimbar di perkumpulan manusia…seorang ahli ibadah malam (Ruhbaanullail) apabila kegelapan telah menutup tirainya ke atas alam dan saat mata-mata tertidur lelap.
Ayahnya RA telah mengutusnya ke dalam pertempuran-pertempuran yang ia ikuti.
Dan ia (Ali) telah memikulkan di pudaknya beban-beban pertempuran yang tidak ia pikulkan kepada kedua saudaranya yang lain; al-Hasan dan al-Husain. Ia pun tidak terkalahkan dan tidak pernah melemah keteguhannya.
Pada suatu ketika pernah dikatakan kepadanya, “Mengapakah ayahmu menjerumuskanmu ke dalam kebinasaan dan membebankanmu apa yang kamu tidak mampu memikulnya dalam tempat-tempat yang sempit tanpa kedua saudaramu al-Hasan dan al-Husain?”
Ia menjawab, “Yang demikian itu karena kedua saudaraku menempati kedudukan dua mata ayahku…sedangkan aku menempati kedudukan dua tangannya…sehingga ia (Ali) menjaga kedua matanya dengan kedua tangannya.”
Dalam perang “Shiffin” yang berkecamuk antara Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan RA. Adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah membawa panji ayahnya.
Dan di saat roda peperangan berputar menggilas pasukan dari dua kelompok, terjadilah sebuah kisah yang ia riwayatkan sendiri. Ia menuturkan, “Sungguh aku telah melihat kami dalam perang “Shiffin”, kami bertemu dengan para sahabat Muawiyah, kami saling membunuh hingga aku menyangka bahwa tidak akan tersisa seorang pun dari kami dan juga dari mereka. Aku menganggap ini adalah perbuatan keji dan besar.
Tidaklah berselang lama hingga aku mendengar seseorang yang berteriak di belakangku, “Wahai kaum Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah kepada Allah)…wahai kaum Muslimin…
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?…
Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?*…
Wahai kaum Muslimin…takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah dan sisakan kaum muslimin, wahai ma’syarol muslimin.”
Maka sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk tidak mengangkat pedangku di wajah seorang Muslim.
Kemudian Ali RA mati syahid di tangan pendosa yang dzalim (di tangan Abdurrahman ibn Miljam )
Kekuasaan pun berpindah kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan. Maka, Muhammad ibn al-Hanafiyyah membaiatnya untuk selalu taat dan patuh dalam keadaan suka maupun benci karena keinginannya hanya untuk menyatukan suara dan mengumpulkan kekuatan serta untuk menggapai izzah bagi Islam dan Muslimin.
Muawiyah RA merasakan ketulusan baiat ini dan kesuciannya. Ia merasa benar-benar tentram kepada sahabatnya, hal mana menjadikannya mengundang Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk mengunjunginya.
Maka, ia pun mengunjunginya di Damaskus lebih dari sekali…dan lebih dari satu sebab.
Di antaranya, bahwa kaisar Romawi menulis surat kepada Muawiyah. Ia mengatakan, “Sesungguhnya raja-raja di sini saling berkoresponden dengan raja-raja yang lain. Sebagian mereka bersenang-senang dengan yang lainnya dengan hal-hal aneh yang mereka miliki…sebagin mereka saling berlomba dengan sebagian yang lain dengan keajaiban-keajaiban yang ada di kerajaan-kerajaan mereka. Maka, apakah kamu mengizinkan aku untuk mengadakan (perlombaan) antara aku dan kamu seperti apa yang terjadi di antara mereka?”
Maka, Muawiyah mengiyakannya dan mengizinkannya.
Kaisar Romawi mengirim dua orang pilih-tandingnya. Salah seorang darinya berbadan tinggi dan besar sekali sehingga seakan-akan ia ibarat pohon besar yang menjulang tinggi di hutan atau gedung tinggi nan kokoh. Adapun orang yang satu lagi adalah seorang yang begitu kuat, keras dan kokoh seakan-akan ia ibarat binatang liar yang buas. Sang kaisar menitipkan surat bersama keduanya, ia berkata dalam suratnya, “Apakah di kerajaanmu ada yang menandingi kedua orang ini, tingginya dan kuatnya?.”
Muawiyah lalu berkata kepada ‘Amr ibn al-‘Aash, “Adapun orang yang berbadan tinggi, aku telah menemukan orang yang sepertinya bahkan lebih darinya…ia Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Adapun orang yang kuat, maka aku membutuhkan pendapatmu.”
‘Amr berkata, “Di sana ada dua orang untuk urusan ini, hanya saja keduanya jauh darimu. Mereka adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan Abdullah ibn az-Zubair.”
“Sesungguhnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidaklah jauh dari kita,” kata Muawiyyah.
“Akan tetapi apakah engkau mengira ia akan ridla bersama kebesaran kemuliaannya dan ketinggian kedudukannya untuk mengalahkan kekuatan orang dari Romawi ini dengan ditonton manusia,?” tanya ‘Amr.
Muawiyah berkata, “Sesungguhnya ia akan melakukan hal itu dan lebih banyak dari itu, apabila ia menemukan izzah bagi Islam padanya.”
Kemudian Muawiyah memanggil keduanya, Qais ibn Sa’d dan Muhammad ibn al-Hanafiyyah.
Ketika majelis telah dimulai, Qais ibn Sa’d berdiri dan melepaskan sirwal-sirwal-nya (celana yang lebar) lalu melemparkannya kepada al-‘Ilj** dari Romawi dan menyuruhnya untuk memakainya. Ia pun memakainya…maka, sirwalnya menutupi sampai di atas kedua dadanya sehingga orang-orang ketawa dibuatnya.
Adapun Muhammad ibn al-Hanafiyyah, ia berkata kepada penterjemahnya, “Katakan kepada orang Romawi ini…apabila ia mau, ia duduk dan aku berdiri, lalu ia memberikan tangannya kepadaku. Entah aku yang akan mendirikannya atau dia yang mendudukkanku…Dan bila ia mau, dia yang berdiri dan aku yang duduk…”
Orang Romawi tadi memilih duduk.
Maka Muhammad memegang tangannya, dan (menariknya) berdiri…dan orang Romawi tersebut tidak mampu (menariknya) duduk…
Kesombongan pun merayap dalam dada orang Romawi, ia memilih berdiri dan Muhammad duduk. Muhammad lalu memegang tangannya dan menariknya dengan satu hentakan hampir-hampir melepaskan lengannya dari pundaknya…dan mendudukkannya di tanah.
Kedua orang kafir Romawi tersebut kembali kepada rajanya dalam keadaan kalah dan terhina.
Hari-hari berputar lagi…
Muawiyah dan putranya Yazid serta Marwan ibn al-Hakam telah berpindah ke rahmatullah…Kepemimpinan Bani Umayyah berpindah kepada Abdul Malik ibn Marwan, ia mengumumkan dirinya sebagai khalifah muslimin dan penduduk Syam membaiatnya.
Sementara penduduk Hijaz dan Irak telah membaiat Abdullah ibn az-Zubair***.
Setiap dari keduanya mulai menyeru orang yang belum membaiatnya untuk membaiatnya…dan mendakwakan kepada manusia bahwa ia yang paling berhak dengan kekhalifahan daripada sahabatnya. Barisan kaum muslimin pun terpecah lagi…
Di sinilah Abdullah ibn az-Zubair meminta kepada Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk membaiatnya sebagaimana penduduk Hijaz telah membaiatnya.
Hanya saja Ibn al-Hanafiyyah memahami betul bahwa baiat akan menjadikan hak-hak yang banyak di lehernya bagi orang yang ia baiat. Di antaranya adalah menghunus pedang untuk menolongnya dan memerangi orang-orang yang menyelisihinya. Dan para penyelisihnya hanyalah orang-orang muslim yang telah berijtihad, lalu membaiat orang yang tidak ia bai’at.
Tidaklah orang yang berakal sempurna lupa akan kejadian di hari “Shiffin.”
Tahun yang panjang belum mampu menghapus suara yang menggelegar dari kedua pendengarannya, kuat dan penuh kesedihan, dan suara itu memanggil dari belakangnya, “Wahai kaum Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah kepada) Allah…wahai kaum Muslimin…
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?… Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami.”..
Ya, ia belum lupa sedikitpun dari itu semua.
Maka, ia berkata kepada Abdullah ibn az-Zubair, “Sesungguhnya engkau mengetahui dengan sebenar-benarnya, bahwa dalam perkara ini aku tidak memiliki tujuan dan tidak pula permintaan…hanyalah aku ini seseorang dari kaum muslimin. Apabila kalimat (suara) mereka berkumpul kepadamu atau kepada Abdul Malik, maka aku akan membaiat orang yang suara mereka berkumpul padanya. Adapun sekarang, aku tidak membaiatmu…juga tidak membaiatnya.”
Mulailah Abdullah mempergaulinya dan berlemah lembut kepadanya dalam satu kesempatan. Dan dalam kesempatan yang lain ia berpaling darinya dan bersikap keras kepadanya.
Hanya saja, Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak berselang lama hingga banyak orang yang bergabung dengannya ketika mereka mengikuti pendapatnya. Dan mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepadanya, hingga jumlah mereka sampai tujuh ribu orang dari orang-orang yang memilih untuk memisahkan diri dari fitnah. Dan mereka enggan untuk menjadikan diri mereka kayu bakar bagi apinya yang menyala.
Setiap kalii pengikut Ibn al-Hanafiyyah bertambah jumlahnya, bertambahlah kemarahan Ibn az-Zubair kepadanya dan ia terus mendesaknya untuk membaiatnya.
Ketika Ibn az-Zubair telah putus asa, ia memerintahkannya dan orang-orang yang bersamanya dari Bani Hasyim dan yang lainnya untuk menetap di Syi’b (celah di antara dua bukit) mereka di Mekkah, dan ia menempatkan mata-mata untuk mengawasi mereka.
Kemudian ia berkata kepada mereka, “Demi Allah, sungguh-sungguh kalian harus membaiatku atau benar-benar aku akan membakar kalian dengan api…
Kemudian ia menahan mereka di rumah-rumahnya dan mengumpulkan kayu bakar untuk mereka, lalu mengelilingi rumah-rumah dengannya hingga sampai ujung tembok. Sehingga seandainya ada satu kayu bakar menyala niscaya akan membakar semuanya.
Di saat itulah, sekelompok dari para pengikut Ibn al-Hanafiyyah berdiri kepadanya dan berkata, “Biarkan kami membunuh Ibn az-Zubair dan menenangkan manusia dari (perbuatan)nya.”
Ia berkata, “Apakah kita akan menyalakan api fitnah dengan tangan-tangan kita yang karenanya kita telah menyepi (memisahkan diri)…dan kita membunuh seorang sahabat Rasulullah SAW dan anak-anak dari sahabatnya?! Tidak, demi Allah kita tidak akan melakukan sedikitpun apa yang manjadikan Allah dan Rasul-Nya murka.”
Berita tentang apa yang diderita oleh Muhammad ibn al-Hanafiyah dan para pengikutnya dari kekerasan Abdullah ibn az-Zubair sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan. Ia melihat kesempatan emas untuk menjadikan mereka condong kepadanya.
Ia lantas mengirim surat bersama seorang utusannya, yang seandainya ia menulisnya untuk salah seorang anaknya tentunya ‘dialek’nya tidak akan sehalus itu dan redaksinya tidak selembut itu.
Dan di antara isi suratnya adalah, “Telah sampai berita kepadaku bahwa Ibn az-Zubair telah mempersempit gerakmu dan orang-orang yang bersamamu…ia memutus tali persaudaraanmu…dan merendahkan hakmu. Ini negeri Syam terbuka di depanmu, siap menjemputmu dan orang-orang yang bersamamu dengan penuh kelapangan dan keluasan…singgahlah di sana dimana engkau mau, niscaya engkau akan menemukan penduduknya mengucapkan selamat kepadamu dan para tetangga yang mencintaimu…dan engkau akan mendapatkan kami orang-orang yang memahami hakmu…menghormati keutamaanmu…dan menyambung tali persaudaraanmu Insya Allah…
Muhammad ibn al-Hanafiyah dan orang-orang yang bersamanya berjalan menuju negeri Syam…sesampainya di “Ublah”, mereka menetap di sana.
Penduduknya menempatkan mereka di tempat yang paling mulia dan menjamu mereka dengan baik sebaga tetangga.
Mereka mencitai Muhammad ibn al-Hanafiyah dan mengagungkannya, karena apa yang mereka lihat dari kedalaman (ketekunan) ibadahnya dan kejujuran zuhudnya.
Ia mulai menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar. Ia mendirikan syi’ar-syi’ar di antara mereka dan mengadakan ishlah dalam perselisihan mereka. Ia tidak membiarkan seorang pun dari manusia mendzalimi orang lain.
Di saat berita itu sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan, hal tersebut memberatkan hatinya. Ia kemudian bermusyawarah dengan orang-orang terdekatnya. Mereka berkata kepadanya, “Kami tidak berpendapat agar engkau memperbolehkannya tinggal di kerajaanmu. Sedangkan sirahnya sebagaimana yang engkau ketahui…entah ia membaiatmu…atau ia kembali ke tempatnya semula.”
Maka, Abdul Malik menulis surat untuknya dan berkata, “Sesungguhnya engkau telah mendatangi negeriku dan engkau singgah di salah satu ujungnya. Dan ini peperangan yang terjadi antara diriku dan Abdullah ibn az-Zubair. Dan engkau adalah seseorang yang memiliki tempat dan nama di antara kaum Muslimin. Dan aku melihat agar engkau tidak tinggal di negeriku kecuali bila engkau membaiatku. Bila engkau membaiatku, aku akan memberimu seratus kapal yang datang kepadaku dari “al-Qalzom” kemarin, ambillah beserta apa yang ada padanya. Bersama itu engkau berhak atas satu juta dirham ditambah dengan jumlah yang kamu tentukan sendiri untuk dirimu, anak-anakmu, kerabatmu, budak-budakmu dan orang-orang yang bersamamu. Bila engkau menolaknya maka pergilah dariku ke tempat yang aku tidak memiliki kekuasaan atasnya.”
Muhammad ibn al-Hanafiyah kemudian menulis balasan, “Dari Muhammad ibn Ali, kepada Abdul Malik ibn Marwan. Assalamu ‘alaika…Sesungguhnya aku memuji kepada Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia, (aku berterima kasih) kepadamu. Amma ba’du…Barangkali engkau menjadi ketakutan terhadapku. Dan aku mengira engkau adalah orang yang paham terhadap hakikat sikapku dalam perkara ini. Aku telah singgah di Mekkah, maka Abdullah ibn az-Zubair menginginkan aku untuk membaiatnya, dan tatkala aku menolaknya ia pun berbuat jahat terhadap pertentanganku. Kemudian engkau menulis surat kepadaku, memanggilku untuk tinggal di negeri Syam, lalu aku singgah di sebuah tempat di ujung tanahmu di karenakan harganya murah dan jauh dari markaz (pusat) pemerintahanmu. Kemudian engkau menulis kepadaku apa yang telah engkau tuliskan. Dan kami Insya Allah akan meninggalkanmu.”
Muhammad ibn al-Hanafiyyah beserta orang-orangnya dan kelurganya meninggalkan negeri Syam, dan setiap kali ia singgah di suatu tempat ia pun di usir darinya dan diperintahkan agar pergi darinya.
Dan seakan-akan kesusahan belum cukup atasnya, hingga Allah berkehendak mengujinya dengan kesusahan lain yang lebih besar pengaruhnya dan lebih berat tekanannya…
Yang demikian itu, bahwa sekelompok dari pengikutnya dari kalangan orang-orang yang hatinya sakit dan yang lainnya dari kalangan orang-orang lalai. Mereka mulai berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menitipkan di hati Ali dan keluarganya banyak sekali rahasia-rahasia ilmu, qaidah-qaidah agama dan perbendaharaan syariat. Beliau telah mengkhususkan Ahlul Bait dengan apa yang orang lain tidak mengetahuinya.”
Orang yang ‘alim, beramal dan mahir ini memahami betul apa yang diusung oleh ucapan ini dari penyimpangan, serta bahaya-bahaya yang mungkin diseretnya atas Islam dan Muslimin. Ia pun mengumpulkan manusia dan berdiri mengkhutbahi mereka…ia memuji Allah AWJ dan menyanjungnya dan bershalawat atas Nabi-Nya Muhammad SAW…kemudian berkata, “Sebagian orang beranggapan bahwa kami segenap Ahlul Bait mempunyai ilmu yang Rasulullah SAW mengkhususkan kami dengannya, dan tidak memberitahukan kepada siapapun selain kami. Dan kami –demi Allah- tidaklah mewarisi dari Rasulullah melainkan apa yang ada di antara dua lembaran ini, (dan ia menunjuk ke arah mushaf). Dan sesungguhnya barangsiapa yang beranggapan bahwa kami mempunyai sesuatu yang kami baca selain kitab Allah, sungguh ia telah berdusta.”
Adalah sebagian pengikutnya mengucapkan salam kepadanya, mereka berkata, “Assalamu’alaika wahai Mahdi.”
Ia menjawab, “Ya, aku adalah Mahdi (yang mendapat petunjuk) kepada kebaikan…dan kalian adalah para Mahdi kepada kebaikan Insya Allah…akan tetapi apabila salah seorang dari kalian mengucapkan salam kepadaku, maka hendaklah menyalamiku dengan namaku. Hendaklah ia berkata, “Assalamu’alaika ya Muhammad.”
Tidak berlangsung lama kebingungan Muhammad ibn al-Hanafiyyah tentang tempat yang akan ia tinggali beserta orang-orang yang bersamanya…Allah telah berkehendak agar al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqofi menumpas Abdullah ibn az-Zubair…dan agar manusia seluruhnya membaiat Abdul Malik ibn Marwan.
Maka, tidaklah yang ia lakukan kecuali menulis surat kepada Abdul Malik, ia berkata, “Kepada Abdul Malik ibn Marwan, Amirul Mukminin, dari Muhammad ibn Ali. Amma ba’du…Sesungguhnya setelah aku melihat perkara ini kembali kepadamu, dan manusia membaiatmu. Maka, aku seperti orang dari mereka. Aku membaiatmu untuk walimu di Hijaz. Aku mengirimkan baiatku ini secara tertulis. Wassalamu’alaika.”
Ketika Abdul Malik membacakan surat tersebut kepada para sahabatnya, mereka berkata, “Seandainya ia ingin memecah tongkat ketaatan (baca: keluar dari ketaatan) dan membikin perpecahan dalam perkara ini, niscaya ia mampu melakukannya, dan niscaya engkau tidak memiliki jalan atasnya…Maka tulislah kepadanya dengan perjanjian dan keamanan serta perjanjian Allah dan Rasul-Nya agar ia tidak diusir dan diusik, ia dan para sahabatnya.”
Abdul Malik kemudian menulis hal tersebut kepadanya. Hanya saja Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak hidup lama setelah itu. Allah telah memilihnya untuk berada di sisi-Nya dalam keadaan ridla dan diridlai.
Semoga Allah memberikan cahaya kepada Muhammad ibn al-Hanafiyah di kuburnya, dan semoga Allah mengindahkan ruhnya di surga…ia termasuk orang yang tidak menginginkan kerusakan di bumi tidak pula ketinggian di antara manusia.
CATATAN KAKI:
* Ad-Dailami adalah masyarakat besar yang berada di utara Qazwain, muslimin memerangi mereka kemudian mereka memeluk Islam
** Al-‘Ilj adalah orang yang kuat dan besar dari orang-orang kafir non Arab
*** Ia adalah putra Asma binti ash-Shiddiq yamg berhasil menaklukkan kawasan Afrika
SUMBER BACAAN:
Sebagai tambahan tentang kisah Muhammad Ibn al-Hanafiyyah, lihat:
- Hilyah al-Auliyaa oleh Abu Nu’aim, III: 174
- Tahdziib at-Tahdziib, IX:354
- Shifah ash-Shafwah oleh Ibnul Jauzi (cet. Halab), II: 77-79
- Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa’d, V:91
- Al-Waafi bi al-Wafayaat (terjemah): 1583
- Wafayaat al-A’yaan oleh Ibnu Kholaqan, IV:169
- Al-Kamil, III:391 dan IV:250 pada kejadian-kejadian tahun 66 H
- Syadzarat adz-Dzahab, I:89
- Tahdziib al-Asma Wa al-Lughaat, I:88-89
- Al-Bad’u Wa at-Tarikh, V:75-76
- Al-Ma’arif oleh Ibnu Qutaibah: 123
- Al-‘Iqd al-Farid oleh Ibnu Abdi Rabbih, tahqiq al-‘Urayyan, Juz II,III,V dan VII
Khalid bin Walid
“Orang seperti dia, tidak dapat tanpa diketahui dibiarkan begitu saja. Dia
harus diincar sebagai calon pemimpin Islam. Jika dia menggabungkan diri dengan
kaum Muslimin dalam peperangan melawan orang-orang kafir, kita harus
mengangkatnya kedalam golongan pemimpin.” Demikian keterangan Nabi ketika
berbicara tentang Khalid sebelum calon pahlawan ini masuk Islam.Khalid dilahirkan kira-kira 17 tahun sebelum masa pembangunan Islam. Dia anggota suku Bani Makhzum, suatu cabang dari suku Quraisy. Ayahnya bernama Walid dan ibunya Lababah. Khalid termasuk di antara keluarga Nabi yang sangat dekat. Maimunah, bibi dari Khalid, adalah isteri Nabi. Dengan Umar sendiri pun Khalid ada hubungan keluarga, yakni saudara sepupunya. Suatu hari pada masa kanak-kanaknya kedua saudara sepupu ini main adu gulat. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Untunglah dengan melalui suatu perawatan kaki Umar dapat diluruskan kembali dengan baik.
Ayah Khalid yang bernama Walid, adalah salah seorang pemimpin yang paling berkuasa di antara orang-orang Quraisy. Dia sangat kaya. Dia menghormati Ka’bah dengan perasaan yang sangat mendalam. Sekali dua tahun dialah yang menyediakan kain penutup Ka’bah. Pada masa ibadah Haji dia memberi makan dengan cuma-cuma bagi semua orang yang datang berkumpul di Mina.
Ketika orang Quraisy memperbaiki Ka’bah tidak seorang pun yang berani meruntuhkan dinding-dindingnya yang tua itu. Semua orang takut kalau-kalau jatuh dan mati. Melihat suasana begini Walid maju ke depan dengan bersenjatakan sekop sambil berteriak, “Oh, Tuhan jangan marah kepada kami. Kami berniat baik terhadap rumahMu”.
Nabi mengharap-harap dengan sepenuh hati, agar Walid masuk Islam. Harapan ini timbul karena Walid seorang kesatria yang berani di mata rakyat. Karena itu dia dikagumi dan dihormati oleh orang banyak. Jika dia telah masuk Islam ratusan orang akan mengikutinya.
Dalam hati kecilnya Walid merasa, bahwa Al Qur-’an itu adalah kalimat-kalimat Allah. Dia pernah mengatakan secara jujur dan terang-terangan, bahwa dia tidak bisa berpisah dari keindahan dan kekuatan ayat-ayat suci itu.
Ucapan yang terus terang ini memberikan harapan bagi Nabi, bahwa Walid akan segera masuk Islam. Tetapi impian dan harapan ini tak pernah menjadi kenyataan. Kebanggaan atas diri sendiri membendung bisikan-bisikan hati nuraninya. Dia takut kehilangan kedudukannya sebagai pemimpin bangsa Quraisy. Kesangsian ini menghalanginya untuk menurutkan rayuan-rayuan hati nuraninya. Sayang sekali orang yang begini baik, akhirnya mati sebagai orang yang bukan Islam.
Suku Bani Makhzum mempunyai tugas-tugas penting. Jika terjadi peperangan, Bani Muhzum lah yang mengurus gudang senjata dan gudang tenaga tempur. Suku inilah yang mengumpulkan kuda dan senjata bagi prajurit-prajurit.
Tidak ada cabang suku Quraisy lain yang bisa lebih dibanggakan seperti Bani Makhzum. Ketika diadakan kepungan maut terhadap orang-orang Islam di lembah Abu Thalib, orang-orang Bani Makhzum lah yang pertama kali mengangkat suaranya menentang pengepungan itu.
Latihan Pertama
Kita tidak banyak mengetahui mengenai Khalid pada masa kanak-kanaknya. Tetapi satu hal kita tahu dengan pasti, ayah Khalid orang berada. Dia mempunyai kebun buah-buahan yang membentang dari kota Mekah sampai ke Thaif. Kekayaan ayahnya ini membuat Khalid bebas dari kewajiban-kewajibannya.
Dia lebih leluasa dan tidak usah belajar berdagang. Dia tidak usah bekerja untuk menambah pencaharian orang tuanya. Kehidupan tanpa suatu ikatan memberi kesempatan kepada Khalid mengikuti kegemarannya. Kegemarannya ialah adu tinju dan berkelahi.
Saat itu pekerjaan dalam seni peperangan dianggap sebagai tanda seorang Satria. Panglima perang berarti pemimpin besar. Kepahlawanan adalah satu hal terhormat di mata rakyat.
Ayah Khalid dan beberapa orang pamannya adalah orang-orang yang terpandang di mata rakyat. Hal ini memberikan dorongan keras kepada Khalid untuk mendapatkan kedudukan terhormat, seperti ayah dan paman-pamanya. Satu-satunya permintaan Khalid ialah agar menjadi orang yang dapat mengatasi teman-temannya di dalam hal adu tenaga. Sebab itulah dia menceburkan dirinya kedalam seni peperangan dan seni bela diri. Malah mempelajari keahlian mengendarai kuda, memainkan pedang dan memanah. Dia juga mencurahkan perhatiannya ke dalam hal memimpin angkatan perang. Bakat-bakatnya yang asli, ditambah dengan latihan yang keras, telah membina Khalid menjadi seorang yang luar biasa. Kemahiran dan keberaniannya mengagumkan setiap orang.
Pandangan yang ditunjukkannya mengenai taktik perang menakjubkan setiap orang. Dengan gamblang orang dapat melihat, bahwa dia akan menjadi ahli dalam seni kemiliteran. Dari masa kanak-kanaknya dia memberikan harapan untuk menjadi ahli militer yang luar biasa senialnya.
Menentang Islam
Pada masa kanak-kanaknya Khalid telah kelihatan menonjol diantara teman-temannya. Dia telah sanggup merebut tempat istimewa dalam hati rakyat. Lama kelamaan Khalid menanjak menjadi pemimpin suku Quraisy. Pada waktu itu orang-orang Quraisy sedang memusuhi Islam. Mereka sangat anti dan memusuhi agama Islam dan penganut-penganut Islam. Kepercayaan baru itu menjadi bahaya bagi kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy. Orang-orang Quraisy sangat mencintai adat kebiasaannya. Sebab itu mereka mengangkat senjata untuk menggempur orang-orang Islam. Tunas Islam harus dihancurkan sebelum tumbuh berurat berakar. Khalid sebagai pemuda Quraisy yang berani dan bersemangat berdiri digaris paling depan dalam penggempuran terhadap kepercayaan baru ini. Hal ini sudah wajar dan seirama dengan kehendak alam.
Sejak kecil pemuda Khalid bertekad menjadi pahlawan Quraisy. Kesempatan ini diperolehnya dalam pertentangan-pertentangan dengan orang-orang Islam. Untuk membuktikan bakat dan kecakapannya ini, dia harus menonjolkan dirinya dalam segala pertempuran. Dia harus memperlihatkan kepada sukunya kwalitasnya sebagai pekelahi.
Peristiwa Uhud
Kekalahan kaum Quraisy di dalam perang Badar membuat mereka jadi kegila-gilaan, karena penyesalan dan panas hati. Mereka merasa terhina. Rasa sombong dan kebanggaan mereka sebagai suku Quraisy telah meluncur masuk lumpur kehinaan Arang telah tercoreng di muka orang-orang Quraisy. Mereka seolah-olah tidak bisa lagi mengangkat dirinya dari lumpur kehinaan ini. Dengan segera mereka membuat persiapan-persiapan untuk membalas pengalaman pahit yang terjadi di Badar.
Sebagai pemuda Quraisy, Khalid bin Walid pun ikut merasakan pahit getirnya kekalahan itu. Sebab itu dia ingin membalas dendam sukunya dalam peperangan Uhud. Khalid dengan pasukannya bergerak ke Uhud dengan satu tekad menang atau mati. Orang-orang Islam dalam pertempuran Uhud ini mengambil posisi dengan membelakangi bukit Uhud.
Sungguhpun kedudukan pertahanan baik, masih terdapat suatu kekhawatiran. Di bukit Uhud masih ada suatu tanah genting, di mana tentara Quraisy dapat menyerbu masuk pertahanan Islam. Untuk menjaga tanah genting ini, Nabi menempatkan 50 orang pemanah terbaik. Nabi memerintahkan kepada mereka agar bertahan mati-matian. Dalam keadaan bagaimana jua pun jangan sampai meninggalkan pos masing-masing.
Khalid bin Walid memimpin sayap kanan tentara Quraisy empat kali lebih besar jumlahnya dari pasukan Islam. Tetapi mereka jadi ragu-ragu mengingat kekalahan-kekalahan yang telah mereka alami di Badar. Karena kekalahan ini hati mereka menjadi kecil menghadapi keberanian orang-orang Islam.
Sungguh pun begitu pasukan-pasukan Quraisy memulai pertempuran dengan baik. Tetapi setelah orang-orang Islam mulai mendobrak pertahanan mereka, mereka telah gagal untuk mempertahankan tanah yang mereka injak.
Kekuatannya menjadi terpecah-pecah. Mereka lari cerai-berai. Peristiwa Badar berulang kembali di Uhud. Saat-saat kritis sedang mengancam orang-orang Quraisy. Tetapi Khalid bin Walid tidak goncang dan sarafnya tetap membaja. Dia mengumpulkan kembali anak buahnya dan mencari kesempatan baik guna melakukan pukulan yang menentukan.
Melihat orang-orang Quraisy cerai-berai, pemanah-pemanah yang bertugas ditanah genting tidak tahan hati. Pasukan Islam tertarik oleh harta perang, harta yang ada pada mayat-mayat orang-orang Quraisy. Tanpa pikir panjang akan akibatnya, sebagian besar pemanah-pemanah, penjaga tanah genting meninggalkan posnya dan menyerbu kelapangan.
Pertahanan tanah genting menjadi kosong. Khalid bin Walid dengan segera melihat kesempatan baik ini. Dia menyerbu ketanah genting dan mendesak masuk. Beberapa orang pemanah yang masih tinggal dikeroyok bersama-sama. Tanah genting dikuasai oleh pasukan Khalid dan mereka menjadi leluasa untuk menggempur pasukan Islam dari belakang.
Dengan kecepatan yang tak ada taranya Khalid masuk dari garis belakang dan menggempur orang Islam di pusat pertahanannya. Melihat Khalid telah masuk melalui tanah genting, orang-orang Quraisy yang telah lari cerai-berai berkumpul kembali dan mengikuti jejak Khalid menyerbu dari belakang. Pemenang-pemenang antara beberapa menit yang lalu, sekarang telah terkepung lagi dari segenap penjuru, dan situasi mereka menjadi gawat.
Khalid bin Walid telah merobah kemenangan orang Islam di Uhud menjadi suatu kehancuran. Mestinya orang-orang Quraisylah yang kalah dan cerai-berai. Tetapi karena gemilangnya Khalid sebagai ahli siasat perang, kekalahan-kekalahan telah disunglapnya menjadi satu kemenangan. Dia menemukan lobang-lobang kelemahan pertahanan orang Islam.
Hanya pahlawan Khalid lah yang dapat mencari saat-saat kelemahan lawannya. Dan dia pula yang sanggup menarik kembali tentara yang telah cerai-berai dan memaksanya untuk bertempur lagi. Seni perangnya yang luar biasa inilah yang mengungkap kekalahan Uhud menjadi suatu kemenangan bagi orang Quraisy.
Ketika Khalid bin Walid memeluk Islam Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sangat bahagia, karena Khalid mempunyai kemampuan berperang yang dapat digunakan untuk membela Islam dan meninggikan kalimatullah dengan perjuangan jihad. Dalam banyak kesempatan peperangan Islam Khalid bin Walid diangkat menjadi komandan perang dan menunjukan hasil gemilang atas segala upaya jihadnya. Betapapun hebatnya Khalid bin Walid di dalam medan pertempuran, dengan berbagai luka yang menyayat badannya, namun ternyata kematianya di atas ranjang. Betapa menyesalnya Khalid harapan untuk mati sahid di medan perang ternyata tidak tercapai dan Allah menghendakinya mati di atas tempat tidur, sesudah perjuangan membela Islam yang luar biasa itu. Demikianlah kekuasaan Allah. Manusia berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya sesuai dengan kemaua-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar