Kelistrikan di Indonesia dimulai pada akhir abad ke-19, pada saat
beberapa perusahaan Belanda, antara lain pabrik gula dan pabrik teh
mendirikan pembangkit tenaga listrik untuk keperluan sendiri.
Kelistrikan untuk kemanfaatan umum mulai ada pada saat perusahaan swasta
Belanda yaitu NV NIGN yang semula bergerak dibidang gas memperluas
usahanya di bidang listrik untuk kemanfaatan umum. Pada tahun 1927
Pemerintah Belanda membentuk s' Lands Waterkracht Bedrijven (LB) yaitu
perusahaan listrik negara yang mengelola PLTA Plengan, PLTA Lamajan,
PLTA Bengkok Dago, PLTA Ubrug dan Kracak di Jawa Barat, PLTA Giringan di
Madiun, PLTA Tes di Bengkulu, PLTA Tonsea Lama di Sulawesi Utara dan
PLTU di Jakarta. Selain itu di beberapa Kotapraja dibentuk
perusahaan-perusahaan listrik Kotapraja.
Dengan menyerahnya pemerintah Belanda kepada Jepang dalam perang Dunia II maka Indonesia dikuasai Jepang; oleh karena itu perusahaan listrik dan gas yang ada diambil alih oleh Jepang dan semua personil dalam perusahaan listrik tersebut diambil alih oleh orang-orang Jepang. Dengan jatuhnya Jepang ke tangan Sekutu dan diproklamasikannya kemerdekaaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka kesempatan yang baik ini dimanfaatkan oleh pemuda serta buruh listrik dan gas untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan listrik dan gas yang dikuasai Jepang.
Setelah berhasil merebut perusahaan listrik dan gas dari tangan kekuasaan Jepang, kemudian pada bulan September 1945, Delegasi dari Buruh / Pegawai Listrik dan Gas yang diketuai oleh Kobarsjih menghadap Pimpinan KNI Pusat yang waktu diketuai oleh Mr. Kasman Singodimejo untuk melaporkan hasil perjuangan mereka. Selanjutnya delegasi Kobarsjih bersama-sama dengan Pimpinan KNPI Pusat menghadap Presiden Soekarno, untuk menyerahkan perusahaan-perusahaan listrik dan gas kepada Pemerintah Republik Indonesia. Penyerahan tersebut diterima oleh Presiden Soekarno dan kemudian dengan Penetapan Pemerintah tahun 1945 No. 1 tertanggal 27 Oktober 1945 maka dibentuklah Jawatan Listrik dan Gas dibawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga.
Dengan adanya Agesi Belanda I dan II sebagian besar perusahaan-perusahaan listrik dikuasai kembali oleh Pemerintah Belanda atau pemiliknya semula. Pegawai-pegawai yang tidak mau bekerjasama kemudian mengungsi dan menggabungkan diri pada kantor-kantor Jawatan Listrik dan Gas di daerah-daerah Republik Indonesia yang bukan daerah pendudukan Belanda untuk meneruskan perjuangan. Para pemuda kemudian mengajukan mosi yang dikenal dengan Mosi Kobarsjih tentang Nasionalisasi Perusahaan Listrik dan Gas Swasta kepada Pemerintah. Selanjutnya kristalisasi dari semangat dan jiwa mosi tersebut tertuang dalam Ketetapan Parleman RI No 163 tanggal 3 Oktober 1953 tentang Nasionalisasi Perusahaan Listrik milik bangsa asing di Indonesia, jika waktu konsesinya habis.
Sejalan dengan meningkatnya perjuangan bangsa Indonesia untuk membebaskan Irian Jaya dari cengkeraman penjajah Belanda maka dikeluarkan Undang Undang Nomor 86 tahun 1958 tertanggal 27 Desember 1958 tentang Nasionalisasi semua perusahaan Belanda dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1958 tentang nasionalisasi listrik dan gas milik Belanda.
Dengan Undang-undang tersebut, maka seluruh perusahaan listrik Belanda berada ditangan bangsa Indonesia.
Sejarah ketenagalistrikan di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan pasang surutnya perjuangan bangsa. Tanggal 27 Oktober 1945 kemudian dikenal sebagai Hari Listrik dan Gas, hari tersebut telah diperingati untuk pertama kali pada tanggal 27 Oktober 1946 bertempat di Gedung Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) Yogyakarta. Penetapan secara resmi tanggal 27 Oktober 1945 sebagai Hari Listrik dan Gas berdasarkan keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga, Nomor 20 tahun 1960. Namun kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, nomor 235/KPTS/1975 tanggal 30 September 1975 peringatan Hari Listrik dan Gas yang digabung dengan Hari Kebaktian Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik yang jatuh pada tanggal 3 Desember. Mengingat pentingnya semangat dan nilai-nilai hari listrik, maka berdasarkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi, Nomor 1134.K/43/MPE/1992 tanggal 31 Agustus 1992 ditetapkan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Listrik Nasional.
Dengan menyerahnya pemerintah Belanda kepada Jepang dalam perang Dunia II maka Indonesia dikuasai Jepang; oleh karena itu perusahaan listrik dan gas yang ada diambil alih oleh Jepang dan semua personil dalam perusahaan listrik tersebut diambil alih oleh orang-orang Jepang. Dengan jatuhnya Jepang ke tangan Sekutu dan diproklamasikannya kemerdekaaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka kesempatan yang baik ini dimanfaatkan oleh pemuda serta buruh listrik dan gas untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan listrik dan gas yang dikuasai Jepang.
Setelah berhasil merebut perusahaan listrik dan gas dari tangan kekuasaan Jepang, kemudian pada bulan September 1945, Delegasi dari Buruh / Pegawai Listrik dan Gas yang diketuai oleh Kobarsjih menghadap Pimpinan KNI Pusat yang waktu diketuai oleh Mr. Kasman Singodimejo untuk melaporkan hasil perjuangan mereka. Selanjutnya delegasi Kobarsjih bersama-sama dengan Pimpinan KNPI Pusat menghadap Presiden Soekarno, untuk menyerahkan perusahaan-perusahaan listrik dan gas kepada Pemerintah Republik Indonesia. Penyerahan tersebut diterima oleh Presiden Soekarno dan kemudian dengan Penetapan Pemerintah tahun 1945 No. 1 tertanggal 27 Oktober 1945 maka dibentuklah Jawatan Listrik dan Gas dibawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga.
Dengan adanya Agesi Belanda I dan II sebagian besar perusahaan-perusahaan listrik dikuasai kembali oleh Pemerintah Belanda atau pemiliknya semula. Pegawai-pegawai yang tidak mau bekerjasama kemudian mengungsi dan menggabungkan diri pada kantor-kantor Jawatan Listrik dan Gas di daerah-daerah Republik Indonesia yang bukan daerah pendudukan Belanda untuk meneruskan perjuangan. Para pemuda kemudian mengajukan mosi yang dikenal dengan Mosi Kobarsjih tentang Nasionalisasi Perusahaan Listrik dan Gas Swasta kepada Pemerintah. Selanjutnya kristalisasi dari semangat dan jiwa mosi tersebut tertuang dalam Ketetapan Parleman RI No 163 tanggal 3 Oktober 1953 tentang Nasionalisasi Perusahaan Listrik milik bangsa asing di Indonesia, jika waktu konsesinya habis.
Sejalan dengan meningkatnya perjuangan bangsa Indonesia untuk membebaskan Irian Jaya dari cengkeraman penjajah Belanda maka dikeluarkan Undang Undang Nomor 86 tahun 1958 tertanggal 27 Desember 1958 tentang Nasionalisasi semua perusahaan Belanda dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1958 tentang nasionalisasi listrik dan gas milik Belanda.
Dengan Undang-undang tersebut, maka seluruh perusahaan listrik Belanda berada ditangan bangsa Indonesia.
Sejarah ketenagalistrikan di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan pasang surutnya perjuangan bangsa. Tanggal 27 Oktober 1945 kemudian dikenal sebagai Hari Listrik dan Gas, hari tersebut telah diperingati untuk pertama kali pada tanggal 27 Oktober 1946 bertempat di Gedung Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) Yogyakarta. Penetapan secara resmi tanggal 27 Oktober 1945 sebagai Hari Listrik dan Gas berdasarkan keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga, Nomor 20 tahun 1960. Namun kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, nomor 235/KPTS/1975 tanggal 30 September 1975 peringatan Hari Listrik dan Gas yang digabung dengan Hari Kebaktian Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik yang jatuh pada tanggal 3 Desember. Mengingat pentingnya semangat dan nilai-nilai hari listrik, maka berdasarkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi, Nomor 1134.K/43/MPE/1992 tanggal 31 Agustus 1992 ditetapkan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Listrik Nasional.
Masalah kelistrikan menjadi salah satu isu yang banyak
diperbincangkan dewasa ini. Terjadinya pemadaman listrik secara
bergilir, naiknya harga berlangganan listrik, dan usaha untuk mencari
sumber listrik baru adalah isu sentral yang menjadi pusat perhatian
banyak pihak. Namun, masalah mendasar dari pengelolaan kelistrikan
seolah tertutup oleh isu hangat yang belakangan muncul sebagaimana
disebutkan di atas. Sudah bukan rahasia lagi bahwa perusahaan yang
mengelola kelistrikan selalu mengalami kerugian. Melalui tulisan ini,
penulis mengajak kepada semua pihak untuk kembali memperhatikan masalah
mendasar ini.
Tinjauan Umum Sistem Kelistrikan
Sebagai pembuka untuk membahas masalah pengelolaan kelistrikan, mari kita tinjau kembali struktur umum pengelolaan kelistrikan.
Dalam
sistem kelistrikan paling tidak terdapat tiga fungsi umum atau
subsistem, yaitu subsistem pembangkitan, transmisi, dan distribusi.
Tiap-tiap subsistem ini memiliki karakteristik dan fungsi yang berbeda
tapi saling burhubungan. Selanjutnya akan dibahas masing-masing
subsistem tersebut.
Subsistem pembangkitan
memiliki fungsi memproduksi (membuat) atau membangkitkan listrik.
Subsistem ini pada dasarnya adalah sebuah pabrik yang memproduksi
listrik tetapi karena listrik bukanlah suatu benda yang dapat dilihat
maka istilah memproduksi lebih tepat dinyatakan dengan membangkitkan
listrik. Listrik dapat dihasilkan dari berbagai macam cara, menggunakan
air disebut PLTA (pembangkit listrik tenaga air), menggunakan uap air
disebut PLTU (pembangkit listrik tenaga uap), dan lain-lain. Subsistem
pembangkitan biasanya terletak di tempat-tempat listrik itu dihasilkan.
PLTA terletak di bendungan atau waduk, PLTU terletak di dekat sumber
panas bumi penghasil uap, dan seterusnya. Listrik yang dihasilkan tidak
bisa disimpan atau ditampung dulu, tetapi harus langsung dialirkan ke
tempat dimana listrik itu akan dipakai. Jadi, tidak ada gudang
penyimpanan listrik atau tandon penyimpanan listrik. Inilah salah satu
karakteristik dari listrik dipandang dari segi produksi.
Karena
listrik tidak dapat disimpan, maka listrik itu harus terus dialirkan
dari subsistem pembangkitan ke tempat listrik itu akan dipakai. Di
sinilah peran subsistem transmisi. Subsistem ini berfungsi mengalirkan
listrik ke tempat-tempat di mana listrik akan digunakan. Lagi pula
tempat pembangkitan listrik biasanya jauh sehingga diperlukan cara agar
listrik bisa dialirkan ke tempat lain. Maka, kita sering melihat
kabel-kabel listrik membentuk saluran listrik tegangan tinggi yang
membentang dari satu tempat ke tempat lain, itulah yang digolongkan
sebagai subsistem transmisi.
Sebelum listrik
sampai ke pemakai, saluran listrik tegangan tinggi yang dialirkan dari
subsistem pembangkit perlu dibagi ke beberapa pemakai. Subsistem yang
menjalankan fungsi ini disebut subsistem distribusi. Pada tahap ini
listrik dibagi-bagi dengan tegangan tertentu ke sejumlah pemakai, baik
pemakai rumah tangga maupun pemakai industri. Kita sering melihat
gardu-gardu listrik yang tersebar di beberapa tempat, di sinilah listrik
itu didistribusikan. Pada gardu-gardu ini terdapat trafo yang berfungsi
menaikkan atau menurunkan tegangan ke tegangan yang sesuai. Kita juga
sering mendengar pemadaman listrik di suatu daerah dihubungkan dengan
kejadian di suatu gardu, karena memang di gardu inilah pusat penyaluran
listrik di daerah tersebut.
Proses perhitungan
biaya listrik yang dipakai oleh pemakai, kerugian akibat pencurian
listrik, dan segala macam masalah yang berkaitan langsung dengan pemakai
listrik termasuk ke dalam subsistem distribusi.
Pengelolaan
sistem kelistrikan di Indonesia yang meliputi tiga fungsi sebagaimana
dijelaskan di atas dilakukan oleh operator tunggal sekaligus sebuah
badan usaha milik negara (BUMN), yaitu PLN.
Demikianlah
penjelasan umum dan ringkas dari suatu sistem kelistrikan. Di sini
dibahas bagaimana listrik yang dibangkitkan di PLTA yang jauh dari pusat
kota dialirkan dan digunakan oleh orang-orang di pusat kota.
Evaluasi Sistem Kelistrikan Yang Ada
Dari
penjelasan tentang sistem kelistrikan di atas dan membandingkan dengan
sistem kelistrikan yang ada saat ini yang dikelola oleh PLN, menurut
saya ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian.
- Pernahkah pengelola sistem kelistrikan memperhitungkan jumlah listrik yang dihasilkan dalam subsistem pembangkitan, kemudian dialirkan melalui subsistem transmisi, sampai ke subsistem distribusi, dan terakhir sampai ke pemakai langsung? Apakah ada sejumlah listrik yang terbuang sia-sia dalam keseluruhan proses ini? jika kita meninjau listrik sebagai produk yang akan dijual maka kehilangan listrik berarti kehilangan sejumlah produk. Ini berarti ada harga produk yang tidak terjual, dan bisa berarti kerugian. Suatu sistem kelistrikan terpadu yang baik tentu saja akan memperkecil sejumlah kerugian ini dengan memperhitungkan jumlah listrik yang dihasilkan dan berapa jumlah yang dipakai dan dibayar oleh pemakai atau konsumen.
- Kita mengenal berbagai jenis pembangkitan listrik. PLTA menggunakan air, PLTU menggunakan uap air dari sumber panas bumi, dan sebagainya. Masing-masing sumber listrik didapat atau dijalankan dengan biaya yang berbeda. Apakah perbedaan tiap sistem pembangkitan ini tidak mempengaruhi perbedaan nilai jual listrik itu kepada konsumen? Bukankah seharusnya konsumen yang memakai listrik dari PLTA berbeda dari konsumen yang memakai listrik dari PLTU? Atau, jika di suatu daerah menggunakan listrik dari PLTA, mengapa mereka harus terpengaruh oleh kenaikan harga BBM yang digunakan pembangkit di daerah lain? Dari sudut pandang keadilan, hal ini tentu terlihat sangat tidak adil. Semestinya biaya listrik berlaku lokal sesuai pembangkit yang dijalankan di daerah yang bersangkutan.
- Bagaimana memperhitungkan dan mengelola distribusi listrik? Dalam pandangan bisnis, listrik yang dijual dan terbayarkan oleh pemakai semestinya sesuai dengan listrik yang diterima dari subsistem pembangkitan dan transmisi. Memang ada sejumlah listrik yang hilang saat transmisi yang biasanya sudah diperhitungkan saat merancang subsistem transmisi, tetapi sejumlah listrik yang hilang akibat desain di gardu, pemakaian tidak sah, atau pencurian listrik semestinya perlu diperhitungkan juga. Sudahkah ini dilakukan oleh pengelola sistem kelistrikan?
Dari
sudut pandang efektivitas dan profit, permasalahan di atas bisa
dijadikan landasan dalam mengevaluasi kinerja pengelolaan kelistrikan
yang ada saat ini. hal di atas tentu hanya sebagian kecil dari
permasalahan yang ada, tetapi dari sini kita bisa menganalisis sistem
yang ada untuk mencari sedikit solusi yang bisa diajukan.
Sistem Kelistrikan Alternatif
Dari
sejumlah permasalahan di atas, diperlukan suatu langkah maju dalam
pengelolaan listrik yang dapat mengembalikan efektivitas dan profit
perusahaan pengelola kelistrikan.
Dari
penjelasan di atas, tampak bahwa permasalahan dalam pengelolaan listrik
terletak pada distribusi listrik dan pengelolaan dana hasil distribusi
listrik. Selama ini pengelolaan sistem kelistrikan yang meliputi
subsistem pembangkitan, transmisi, dan distribusi dilakukan oleh satu
institusi pemerintah, yaitu PLN. Dalam hal ini PLN membangun pembangkit
listrik sekaligus maintenance-nya (pemeliharaan), membangun sistem
transmisi beserta maintenance-nya, dan melakukan pelayanan kepada
pemakai listrik sebagai pihak yang berhadapan langsung dengan konsumen.
Untuk
alasan efektivitas dan profit, penulis mengusulkan suatu sistem
kelistrikan alternatif berupa pemisahan dalam pengelolaan kelistrikan.
Di sini sistem kelistrikan dibagi menjadi dua sistem yang terpisah dalam
pengelolaannya yang masing-masing menjalankan fungsinya secara mandiri.
Sistem pembangkitan dan transmisi berada di satu sisi dengan satu
manajemen tersendiri dan di sisi yang lain sistem distribusi dengan satu
manajemen tersendiri pula.
Dalam sistem
kelistrikan ini, pihak pembangkit dan transmisi memproduksi listrik dan
menjualnya kepada pihak lain, yaitu sistem distribusi. Sistem distribusi
membeli listrik dari sistem pembangkit dan transmisi untuk dijual
kepada pemakai listrik sebagai konsumen. Di sini baik sistem
pembangkitan dan transmisi maupun sistem distribusi menjalankan usahanya
sebagai institusi bisnis yang berusaha meraih keuntungan.
Sebagai
institusi bisnis yang bertujuan menghasilkan keuntungan, masing-masing
pihakmelakukan transaksi jual beli. Dengan demikian, baik sistem
pembangkitan dan transmisi maupun sistem distribusi semestinya tidak
mengharapkan timbulnya kerugian di pihak masing-masing. Ini membuat
semua pihak berusaha menjalankan fungsi dan usahanya secara efektif agar
tercapai usaha meraih keuntungan.
Sistem
kelistrikan melalui pemisahan pengelolaan antara sistem pembangkitan dan
transmisi dengan sistem distribusi merupakan suatu alternatif dalam
pengelolaan sistem kelistrikan. Sistem alternatif ini merupakan suatu
usulan dalam rangka meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan perolehan
profit yang diharapkan dari suatu pengelolaan suatu sistem kelistrikan.
Pembahasan
lebih rinci dari pemisahan sistem kelistrikan dan perbaikan yang bisa
dicapai melalui penerapan sistem alternatif ini akan dijelaskan dalam
tulisan berikutnya bertajuk Sistem Kelistrikan Alternatif, Profesionalisme Dalam Pengelolaan Kelistrikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar